kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga Komoditas Logam Industri Naik di Awal 2023, Prospeknya Dihantui Ketidakpastian


Selasa, 24 Januari 2023 / 17:04 WIB
Harga Komoditas Logam Industri Naik di Awal 2023, Prospeknya Dihantui Ketidakpastian
ILUSTRASI. Pekerja menggunakan alat berat memindahkan aluminium ingot di pabrik peleburan PT Inalum (Persero) di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, Jumat (14/10/2022). ANTARA FOTO/Adiva Niki/Lmo/tom.


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga sejumlah komoditas logam industri tercatat naik akhir-akhir ini. Berdasarkan data tradingeconomics.com, harga kontrak berjangka tembaga berada di level US$ 8.609 per ton per Senin (23/1), meningkat 12,22% dalam sebulan dan menjadi level tertinggi dalam tujuh bulan ke belakang.

Lalu, harga aluminium per Senin (23/1) berada di level US$ 2.636,5 per ton alias naik 10,73% dalam sebulan. Kemudian, harga timah berada di level US$ 29.536 per ton per perdagangan Jumat (20/1) atau melesat 22,76% dalam sebulan terakhir. Level ini tergolong tinggi jika dilihat sejak Juni 2022. 

Di sisi lain, harga nikel turun 5,04% dalam sebulan ke posisi US$ 27.895 per ton per Senin (23/1). Harga ini terkoreksi dari harga tertingginya dalam tujuh bulan terakhir yang mencapai US$ 31.300 per ton pada 7 Desember 2022.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, kenaikan harga komoditas logam industri terjadi karena tidak ada ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed pada Januari 2022. Di samping itu, libur di sebagian besar pasar (terutama China) dalam rangka Tahun Baru Imlek membuat dolar Amerika Serikat (AS) melemah sehingga berefek ke penguatan harga komoditas. 

Baca Juga: Gapki Dukung Rencana Penetapan Harga Acuan CPO Oleh Bappebti

Sementara itu, penurunan harga yang terjadi pada nikel disebabkan oleh kekalahan Indonesia dalam gugatan yang diajukan Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) terkait larangan ekspor nikel mentah. Merespons hal ini, pemerintah Indonesia tengah mengajukan banding ke WTO. 

"Di samping itu, ada ketakutan yang berkaitan dengan potensi perlambatan ekonomi hingga resesi. Kalau benar terjadi di 2023, permintaan nikel akan menurun," tutur Ibrahim saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (24/1).

Sebagaimana diketahui, sebelumnya, harga nikel sempat naik karena pemerintah Indonesia berencana melarang ekspor nikel mentah. Permintaan nikel juga diprediksi cukup besar berkat visi pengembangan industri kendaraan listrik di tengah terbatasnya pasokan nikel dari Rusia akibat perang. 

Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, kenaikan harga komoditas yang terjadi akhir-akhir ini seiring dengan inflasi global yang mulai mereda. Indeks Harga Konsumen Pertumbuhan CPI AS bulan Desember 2022 tercatat sebesar 6,4%, turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 7,1%.

Hal ini membuat ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed mulai melambat, tidak lagi agresif sebesar 75 basis points (bps).

"Ini sangat melegakan pasar. FOMC terakhir menegaskan wacana peredaan agresivitas tersebut," ucap Wahyu.

Akan tetapi, Ibrahim mengimbau pelaku pasar untuk mewaspadai potensi penurunan harga komoditas logam industri dalam jangka pendek. Pasar menantikan rilis data pertumbuhan ekonomi AS kuartal IV-2022 pada Kamis (26/1) malam waktu setempat. Pada awal Februari nanti, The Fed juga akan mengadakan pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC). 

Data pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi sinyal apakah resesi benar-benar akan terjadi atau tidak pada kuartal I-2023. Hal ini selanjutnya akan memengaruhi pengambilan keputusan moneter The Fed di samping mempertimbangkan data inflasi. 

Baca Juga: Peningkatan Kemacetan di China Menjadi Penyokong Kenaikan Harga Minyak

Wahyu juga melihat, fluktuasi harga komoditas masih akan terjadi pada tahun 2023. Pasalnya, ada risiko ketidakpastian global dari potensi resesi beserta respons kebijakan The Fed. 

Jika resesi terjadi, maka biasanya akan diikuti oleh perubahan kebijakan moneter The Fed menjadi pivot atau bahkan melakukan quantitative easing (QE). Resesi akan menyeret harga komoditas terkoreksi signifikan, sedangkan kebijakan pivot atau QE The Fed dapat membuat harga komoditas rebound. 

Di luar itu, isu pandemi Covid-19 juga masih relevan. Pembukaan ekonomi kembali setelah pandemi Covid-19 akan menjadi penyokong kenaikan harga komoditas. Menurutnya, pasar menunggu China benar-benar mencabut kebijakan nol-Covid untuk memacu rally komoditas, terutama logam industri dan energi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×