kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga Komoditas Energi Masih Tangguh di Tengah Resesi


Rabu, 23 November 2022 / 18:50 WIB
Harga Komoditas Energi Masih Tangguh di Tengah Resesi
ILUSTRASI. Sentimen musim dingin akan menjaga tren bullish harga komoditas energi.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas energi masih cukup tangguh menghadapi resesi global. Sentimen musim dingin akan menjaga tren bullish harga komoditas energi.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, prospek energi tetap positif meskipun resesi terjadi. Inggris yang telah mengumumkan resesi dinilai tidak mempengaruhi permintaan energi karena energi adalah kebutuhan dasar.

Hal ini tercermin dari tidak adanya penurunan yang signifikan baik pada minyak maupun gas. Natural Gas mulai terlihat rebound kembali ke US$ 7,2 per mmbtu dari US$ 5,3 per mmbtu. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) juga terlihat rebound kembali dari US$ 75 per barel ke US$ 81 per barel

Sutopo bilang, biasanya suhu yang lebih dingin membuka ruang tren bullish untuk gas. Peningkatan output listrik juga akan meningkatkan permintaan natural gas dari penyedia utilitas -utilitas.

Baca Juga: OECD Kembali Pangkas Proyeksi Ekonomi Indonesia Menjadi 4,7% Pada tahun 2023

Di sisi lain, kebutuhan energi diprediksi bakal meningkat imbas rencana embargo gas Rusia mulai 5 Desember. Aksi ini bakal menjaga gas Rusia dari penurunan harga di akhir tahun.

Eksportir gas Rusia Gazprom PJSC mengatakan akan mengekang pengiriman natural gas melalui Ukraina di minggu depan. Pipa Ukraina adalah rute terakhir yang tersisa untuk gas Rusia ke Eropa Barat yang masih beroperasi.

Sementara harga dan permintaan batubara dinilai masih cukup kompetitif. Sutopo menjelaskan, harga batubara berjangka Newcastle naik di atas $350 per ton dan lebih dari 120% lebih tinggi dalam 12 bulan terakhir karena permintaan melebihi pasokan.

Fenomena La Nina, pola cuaca di Samudra Pasifik yang membawa cuaca basah dan banjir ke Australia telah memukul produksi batubara bagi para penambang antara lain Glencore, BHP, dan Anglo American. 

Baca Juga: Harga Minyak Mentah Naik Lebih Tinggi Sore Ini, WTI ke US$81,20

Ekspor batubara termal Australia kemungkinan akan turun 13 metrik ton menjadi 183 juta metrik ton tahun ini. Sementara itu, ekspor batu bara Indonesia diperkirakan akan meningkat namun tetap di bawah target pemerintah.

Dari sisi permintaan, impor batubara termal India melonjak 14% dalam sepuluh bulan pertama tahun 2022, dan produksi batubara India yang dikelola negara telah menyumbang 80% dari produksi dalam negeri atau naik 11,5%. 

Serta, meningkatnya kekhawatiran keamanan energi di Eropa yang kemudian diperburuk oleh larangan batubara Rusia, memaksa reaktivasi pembangkit listrik tenaga batubara.  

Sutopo memperkirakan harga komoditas kemungkinan bakal sedikit terkoreksi di akhir tahun namun permintaan tetap tinggi mengingat musim dingin sudah dekat.

Baca Juga: Kementerian Keuangan Waspadai Risiko Stagflasi dan Resesi Global

"Sebagian besar negara dengan empat musim akan menimbun gas dan minyak untuk melalui musim dingin yang diperkirakan akan mencapai suhu ekstrim," ucap Sutopo kepada Kontan.co.id, Rabu (23/11).

Pada kuartal pertama 2023, lanjut Sutopo, kondisi dinilai masih relatif bagus untuk komoditas energi karena memang secara historis menjadi musim permintaannya.  

Harga gas diprediksi bisa mencapai US$ 8,5 per mmbtu, harga minyak bisa kembali ke angka US$ 100 per barel. Sementara, harga batubara kemungkinan akan berada di US$ 360 per ton-US$ 370 per ton. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×