Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menurunkan harga gas industri menjadi rata-rata US$ 6 per million british thermal unit (MMBTU) mulai 1 April 2020. Keputusan ini sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sebagai subholding gas siap melaksanakan titah Presiden ini. Sekretaris Perusahaan Gas Negara Rachmat Hutama mengatakan PGAS akan mendukung langkah pemerintah dalam mengoptimalkan pemanfataan gas bumi bagi seluruh sektor dan segmen pelanggan.
“Dengan cadangan gas bumi nasional yang masih sangat besar, energi adalah aset strategis bangsa untuk meraih kemajuan dan kesejahteraan,” kata Rachmat, Rabu (18/3).
Baca Juga: Simak realisasi kinerja Perusahaan Gas Negara (PGAS) sepanjang 2019
Lantas, bagaimana proyeksi dampak penurunan harga gas industri terhadap kinerja PGAS ke depan?
Analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu menilai penetapan harga gas tersebut berlaku untuk beberapa sektor yang harganya masih di atas harga acuan, sementara beberapa sektor lain telah mengaplikasikan harga acuan tersebut. “Sehingga menurut kami PGAS telah dapat memperkirakan formula margin yang profitable,” ujar Dessy kepada Kontan.co.id, Jumat (20/3).
Analis Kresna Sekuritas Timothy Gracianov memperkirakan harga jual rerata atau average selling price (ASP) bakal menurun. Hitungan dia, apabila ASP distribusi gas saat ini US$8,5 per mmbtu dengan asumsi pemerintah menanggung US$1/mmbtu untuk mendukung regulasi tersebut dan adanya perluasan industri, maka ASP distribusi gas akan tergerus menjadi US$8,1/mmbtu.
Baca Juga: Perusahaan Gas Negara (PGAS) terus menggenjot pembangunan Terminal LNG Teluk Lamong
“Harga gas industri sebesar US$6 per mmbtu sudah dikonfirmasi, namun masih didiskusikan apakah ada perluasan terhadap industri di luar PP No.40/2016 atau tidak,” ujar dia kepada Kontan.co.id, hari ini.
Ke depan, menurut Timothy, PGAS bukan hanya menghadapi tantangan regulasi harga gas tersebut, tetapi juga efek penyebaran virus korona beserta harga minyak yang sedang terkoreksi saat ini.
Asal tahu, kinerja PGAS tertekan pada tahun lalu. Konstituen Indeks Kompas100 ini membukukan pendapatan US$ 3,84 miliar atau turun tipis 0,55% dibandingkan pendapatan PGAS pada 2018 yang mencapai US$ 3,87 miliar.
Per 31 Desember 2019, PGAS hanya membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai US$ 67,58 juta atau turun 77,8% dari realisasi laba bersih tahun 2018 yang mencapai US$ 304,99 juta.
Baca Juga: Menperin usul industri yang menikmati penurunan harga gas US$ 6 dapat bertambah
Dessy dan Timothy sepakat penyebab penurunan laba PGAS adalah adanya provisi atas sengketa pajak sebesar US$ 127,72 juta dan adanya penurunan nilai aset tetap (impairment) senilai US$ 98 juta.
Dessy menilai, kinerja PGAS berpotensi mengalami pertumbuhan tahun ini. Asalkan, kejadian seperti impairment dan provisi atas sengketa pajak tidak terjadi lagi tahun ini.
Menurut Timothy, PGAS bisa membukukan kinerja yang lebih baik ke depan dengan melakukan ekspansi, yakni menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang memadai untuk konsumsi gas domestik.
Baca Juga: Ini tanggapan PGN soal harga gas US$ 6 per mmbtu yang diterapkan per 1 April
“PGAS juga bisa mengerjakan proyek yang diberikan Pertamina sebagai induk perusahaan, misalnya seperti pengantaran LNG ke Sinopec di China yang dilakukan Januari-Maret tahun ini,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News