Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Ke depan, menurut Timothy, PGAS bukan hanya menghadapi tantangan regulasi harga gas tersebut, tetapi juga efek penyebaran virus korona beserta harga minyak yang sedang terkoreksi saat ini.
Asal tahu, kinerja PGAS tertekan pada tahun lalu. Konstituen Indeks Kompas100 ini membukukan pendapatan US$ 3,84 miliar atau turun tipis 0,55% dibandingkan pendapatan PGAS pada 2018 yang mencapai US$ 3,87 miliar.
Per 31 Desember 2019, PGAS hanya membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai US$ 67,58 juta atau turun 77,8% dari realisasi laba bersih tahun 2018 yang mencapai US$ 304,99 juta.
Baca Juga: Menperin usul industri yang menikmati penurunan harga gas US$ 6 dapat bertambah
Dessy dan Timothy sepakat penyebab penurunan laba PGAS adalah adanya provisi atas sengketa pajak sebesar US$ 127,72 juta dan adanya penurunan nilai aset tetap (impairment) senilai US$ 98 juta.
Dessy menilai, kinerja PGAS berpotensi mengalami pertumbuhan tahun ini. Asalkan, kejadian seperti impairment dan provisi atas sengketa pajak tidak terjadi lagi tahun ini.
Menurut Timothy, PGAS bisa membukukan kinerja yang lebih baik ke depan dengan melakukan ekspansi, yakni menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang memadai untuk konsumsi gas domestik.
Baca Juga: Ini tanggapan PGN soal harga gas US$ 6 per mmbtu yang diterapkan per 1 April
“PGAS juga bisa mengerjakan proyek yang diberikan Pertamina sebagai induk perusahaan, misalnya seperti pengantaran LNG ke Sinopec di China yang dilakukan Januari-Maret tahun ini,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News