Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) mulai terbebani dengan potensi naiknya angka produksi. Analis melihat, laju harga CPO memang ditentukan oleh perkembangan angka permintaan dan produksi.
Mengutip Bloomberg, Jumat (3/2), harga CPO kontrak pengiriman April 2017 di Malaysia Derivative Exchange tergerus 0,55% ke level RM 3.055 per metrik tpn dibanding sehari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, CPO melemah 0,48%.
Putu Agus Pransumitra, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures mengatakan, koreksi harga CPO terjadi lantaran adanya proyeksi peningkatan produksi CPO pada tahun ini.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) merilis, produksi CPO dalam negeri tahun lalu di angka 31,5 juta ton, turun 3% dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini merupakan yang pertama dalam 18 tahun terakhir. Namun, tahun ini GAPKI memperkirakan produksi CPO akan kembali meningkat ke angka 35,5 juta ton.
"Produksi CPO di Indonesia dan Malaysia mungkin masih turun di bulan Januari karena curah hujan tinggi. Tetapi mulai bulan Februari, produksi bisa naik seiring dengan berakhirnya gangguan cuaca," papar Putu.
Direktur Godrej International, Dorab Mistry menyatakan, pasokan CPO Malaysia kemungkinan turun ke bawah 1,5 juta ton bulan Januari dibanding akhir tahun lalu sebesar 1,67 juta ton. Selanjutnya, produksi CPO Malaysia akan mulai naik signifikan di bulan Maret sehingga turut mendorong kenaikan pasokan.
Meski proyeksi kenaikan produksi menekan CPO, namun pelemahan harga masih terbatas. Data kenaikan ekspor CPO Malaysia memberi sentimen positif pada laju CPO. Survey kargo dari Intertek Testing Services menunjukkan, ekspor CPO Malaysia bulan Januari naik 8,1% menjadi 1,17 juta ton dibanding bulan sebelumnya.
Perkembangan data permintaan, pasokan serta pergerakan harga kompetitor akan mewarnai laju harga CPO ada kuartal pertama tahun ini.
Putu memprediksi harga akan bergerak pada kisaran RM 2.900 - RM 3.200 per metrik ton. "Sepekan ke depan, tekanan harga kemungkinan berlanjut akibat penguatan nilai tukar ringgit terhadap dollar AS," ramalnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News