Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga batubara cenderung lesu, tren harga batubara global di 2020 masih konsolidasi. Meskipun begitu, diharapkan pergerakan harga batubara tahun ini bisa lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Selasa (21/1) harga batubara di perdagangan ICE New Coal Futures untuk kontrak pengiriman April 2020 merosot ke level US$ 71,30 per metrik ton. Padahal di pekan lalu, Senin (13/1) harga sempat menyentuh level US$ 76,90 per metrik ton.
Analis Central Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, sentimen penggerak harga batubara masih seputar perkembangan supply dan demand. Selain itu, tren harga komoditas rendah seperti minyak dan gas alam turut berdampak bagi pergerakan harga batubara tahun ini.
Baca Juga: Ada aksi profit taking, harga batubara mulai terkoreksi
Selain itu, isu lingkungan terkait penggunaan emisi karbon dan melimpahnya pasokan gas alam, membuat harga komoditas cenderung murah di awal tahun. Ditambah lagi, kondisi ekonomi Eropa tengah memburuk dan turut memberikan dampak negatif bagi harga batubara.
Sebagai informasi, pasokan gas alam tengah membanjiri Benua Biru, alhasil angka permintaan terhadap batubara di Eropa jatuh ke level terendah tahun lalu di kisaran US$ 62 per metrik ton.
Sedangkan untuk prospek di 2020, prediksinya tidak akan berbeda jauh dari tahun lalu, di mana S&P Global Platts dan Capital Economic memperkirakan harga bisa jatuh hingga ke level US$ 50 per metrik ton.
Meskipun begitu, Wahyu menekankan bahwa sentimen fundamental utama masih mengacu pada kondisi China. Di mana, harga tidak bisa terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi karena itu akan mengancam konsumen energi listrik dan juga produsen, perusahaan pertambangan dan sektor keuangan.
"National Development and Reform Commission (NDRC) dalam hal ini menjaga harga melalui intervensi atau manajemen issue batubara. Contohnya, aturan baru China soal power plant (listrik) dan harga batubara," jelas Wahyu kepada Kontan.co.id, Selasa (21/1).
Asal tahu saja, mekanisme harga listrik di China telah diubah pada 1 Januari 2020 dengan sistem yang lebih fleksibel. Menurut industri, perubahan tersebut mampu meningkatkan tekanan pada pembangkit listrik tenaga batubara.
Di samping itu, NDRC telah menggunakan tarif rendah untuk mensubsidi penggunaan listrik industri dan perubahan dengan mengorbankan pembangkit listrik tenaga batubara milik negara.
Selain itu, Wahyu menilai lonjakan harga batubara yang terjadi beberapa waktu lalu dikarenakan adanya sedikit penguatan di pasar bahan bakar. Hal tersebut sejalan dengan melonjaknya harga di Afrika Selatan dan meningkatnya permintaan di kawasan Asia.
"Awal tahun memang lumayan bagus buat harga komoditas secara keseluruhan, baik itu emas, minyak, base metal agro, juga batubara. lni didukung sentimen trade war yang mereda serta potensi oversold pada beberapa komoditas akhir tahun lalu, walau sempat terimbas isu geopolitik Iran dan AS," ungkapnya.
Baca Juga: Proyeksi analis: Harga batubara bullish dan bakal stabil sampai 2024
Untuk itu, Wahyu meyakini masih ada peluang bagi harga batubara untuk rebound di tahun ini, didukung harga yang sudah oversold, isu perang dagang, serta harapan bahwa permintaan awal tahun bakal meningkat. Permintaan tahun ini diperkirakan banyak datang dari Asia Tenggara, seiring dengan mulai ketatnya isu kelebihan pasokan.
Meskipun permintaan tumbuh tidak terlalu signifikan dan cenderung moderat, namun pengetatan pasokan khususnya di pasar Atlantik dapat mendorong harga batubara tumbuh lebih positif, setelah tahun lalu harga sempat merosot dalam.
"Sejauh ini, support fundamental masih lumayan bagi pergerakan harga batubara secara general. Hanya saja, kenaikan di awal tahun termasuk boosting energy terkait krisis Iran masih wajar memicu koreksi harga minyak dan batubara," ujarnya.
Dengan begitu, Wahyu memperkirakan pergerakan harga batubara tahun ini bergerak pada rentang US% 60 per metrik ton-US$ 80 per metrik ton di jangka menengah. Sedangkan untuk tahunan berada di rentang US$ 50 per metrik ton-US$ 100 per metik ton, dan US$ 40 per metrik ton-US$ 120 per metrik ton di jangka panjang.
"Strateginya, saat harga di bawah US$ 70 per metrik ton bisa buy on weakness, sedangkan saat di atas US$ 80 per metrik ton bisa sell on strength, dengan level US$ 60 per metrik ton sebagai support terkuat di jangka menengah," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News