Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga baja global tercatat masih mengalami kenaikan di tengah sejumlah sentimen negatif industrinya. Melansir RTI, Minggu (6/10), harga baja ada di level US$ 724 per ton. Angka ini naik 3,58% dalam sebulan, tetapi terkoreksi 1,36% dalam seminggu.
Meskipun begitu, sentimen industri baja saat ini masih cukup kelabu. Krisis baja China dianggap akan semakin memperbesar peluang Indonesia menjadi negara target dumping alias 'buangan' baja yang tidak terserap oleh negara tirai bambu tersebut.
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) melihat, agar produsen dalam negeri dapat menjaga utilisasi produksinya, dibutuhkan support dari pemerintah untuk melindungi produsen dalam negeri dalam hal pembatasan impor baja sampai dengan produk hilir.
Baca Juga: Harga Baja Naik, Ini Strategi Steel Pipe Industry (ISSP) dan Krakatau Steel (KRAS)
Plt Direktur Utama KRAS, Tardi mengatakan, jika mulai dari HR Coil sampai dengan produk hilir dibatasi impornya, maka permintaan HR Coil domestik akan meningkat dan utilisasi pabrik naik, sehingga bisa meningkatkan perekonomian dalam negeri. Pembatasan itu setidaknya dimulai dari 20% - 50% dan disesuaikan dengan kemampuan produksi dalam negeri.
“Tetap dibutuhkan support dari pemerintah untuk melindungi produsen baja dalam negeri untuk menjaga utilisasi produsen domestik tetap baik. Khususnya, peran pemerintah perpanjangan bea masuk anti dumping (BMAD) HRC/Plate dan pengenaan BMAD di pasar Batam,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (4/10).
KRAS juga melakukan beberapa strategi dalam menjaga kinerja perseroan ke depan.
Pertama, meningkatkan sinergi di antara BUMN dalam rangka pemenuhan kebutuhan proyek-proyek strategis nasional.
Baca Juga: Sejumlah Emiten BUMN Restrukturisasi Utang, Simak Rekomendasi Sahamnya
Kedua, melakukan bisnis tolling dengan para mitra bisnis untuk mengonversi slab perseroan menjadi HRC selama produksi baja HSM1 dalam masa perbaikan.
Ketiga, memaksimalkan penjualan trading HRC, HR Plate, all steel, by product, dan industrial service.
Keempat, melakukan koordinasi, pengawasan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan penggunaan Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) di lingkungan Perseroan dan Krakatau Steel Group.
“Kelima, Joint Business Planning dan perbaikan service level dalam rangka meningkatkan Share of Wallet (SOW) konsumen domestik dan penambahan negara tujuan export saat recovery produksi HSM 1 selesai,” tuturnya.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer melihat, performa fundamental emiten baja pada semester I 2024 masih terlihat tertekan.
Misalnya, PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) yang masih mencatatkan penurunan pendapatan. ISSP membukukan pendapatan Rp 2,79 triliun, turun 9,7% jika dibandingkan pendapatan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 3,09 triliun.
Kinerja ISSP pada periode tersebut terlihat dipengaruhi oleh penurunan volume penjualan di kuartal I 2024 yang terkait dengan penurunan harga baja dunia.
“Tak jauh berbeda, KRAS juga mencatatkan pelemahan pendapatan pada periode yang sama yang disebabkan oleh kondisi pasar global yang masih volatil,” ujarnya kepada Kontan, Senin (30/9).
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Hadapi Sejumlah Tantangan di Tahun Ini
Miftahul melihat, kinerja emiten baja di semester II 2024 masih akan tertekan dari persaingan industri yang ketat. Ini mengingat kondisi oversupply pada pasar domestik yang masih cukup besar.
“Di sisi lain, proyek IKN yang masih terus dilanjutkan pembangunannya diharap dapat berkontribusi pada penyerapan baja dan logam domestik dengan harapan normalisasi permintaan,” paparnya.
Alhasil, Miftahul pun masih mempertahankan rating wait and see untuk sektor baja domestik sampai ada perbaikan kinerja di periode mendatang.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama melihat, kinerja keuangan ISSP, KRAS, dan PT Gunung Raja Praksi Tbk (GGRP) tercatat masih negatif di semester I 2024.
Hal ini akibat industri baja yang masih relatif belum kondusif, karena terjadi peningkatan oversupply. Salah satu penyebab oversupply adalah impor baja yang tinggi, apalagi industri baja di Tanah Air masih belum menguasai metallurgi secara efektif.
Para emiten baja pun bisa meningkatkan teknologi metalurgi agar bisa menambah nilai tambah, sehingga produk mereka bisa diserap lebih tinggi oleh pasar.
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Berharap Kebijakan HGBT Diperpanjang
“Di sisi lain, para emiten juga harus bisa berupaya untuk menekan cost of good sold (COGS) dan operating expense, supaya bisa mengurangi dampak penurunan kinerja pertumbuhan laba,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (6/10).
Secara teknikal, Nafan melihat, kinerja saham emiten baja masih kurang likuid. Sehingga, hanya bisa dipakai untuk trading jangka pendek, asalkan harga dan volume transaksi terpenuhi.
Alhasil, Nafan juga belum memberikan rekomendasi untuk saham emiten baja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News