Reporter: Agung Jatmiko | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa saham Indonesia sepanjang tahun ini seakan digempur tekanan yang menyebabkan indeks harga saham gabungan (IHSG) terjerembab. Pada akhir sesi perdagangan hari Jumat (4/5) IHSG ditutup di level 5.792,34, turun 1,13% dibanding hari sebelumnya. Sejak awal tahun atau year to date (ytd), IHSG sudah turun 8,86%.
Penurunan IHSG ini akhirnya berkorelasi ke penurunan sejumlah kapitalisasi pasar sejumlah emiten. Kapitalisasi pasar dihitung berdasarkan jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga sahamnya.
Manakala IHSG diwarnai serangkaian aksi jual yang mengakibatkan beberapa harga saham rontok, tak pelak sejumlah emiten mengalami penurunan pada kapitalisasi pasarnya.
Nah, nyaris seluruh emiten yang ada di bursa efek Indonesia (BEI) mengalami penurunan kapitalisasi pasar. Tak terkecuali emiten-emiten besar seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) atau PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) misalnya.
Meski demikian, masih ada beberapa emiten yang ternyata mampu mencatatkan kenaikan kapitalisasi pasar di tengah kondisi yang berada dalam tekanan seperti dua bulan terakhir.
Jika ditilik posisi awal tahun, ada 10 perusahaan yang masuk dalam kategori kapitalisasi besar, yakni HMSP, BBCA, BBRI, TLKM, UNVR, BMRI, ASII, BBNI, GGRM, UNTR, ICBP dan TPIA. Namun, kini komposisinya antara lain, BBCA, BBRI, HMSP, TLKM, UNVR, BMRI, ASII, BBNI, GGRM dan UNTR.
Tidak ada perubahan dalam hal penghuni jajaran 10 besar ini, namun yang berbubah adalah posisinya. HMSP misalnya, yang tadinya di awal tahun menghuni posisi nomor satu, kini berada di urutan ketiga.
Selain itu, hampir semua emiten yang berada di jajaran 10 besar emiten berkapitalisasi terbesar ini mengalami penurunan dalam kapitalisasi pasar. Penurunan terdalam dialami oleh HMSP, yang tadinya memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp 552,51 triliun di awal tahun, kini kapitalisasi pasarnya sebesar Rp 383,84 triliun. Tercatat hanya satu emiten dalam jajaran 10 besar ini yang mengalami peningkatan kapitalisasi pasar, yakni BBCA.
Menurut Vice President Research, Artha Sekuritas, Frederik Rasali, untuk HMSP sendiri penurunan kapitalisasi pasarnya disebabkan adanya peningkatan risiko di cukai.
Dengan 70% produksinya menggunakan mesin linting, sementara perusahaan rokok lain, seperti GGRM, lebih banyak menggunakan tenaga manusia (padat karya), peningkatan cukai ini sangat tidak menguntungkan HMSP karena cukainya lebih banyak ke mesin. “Adanya peningkatan cukai ini membuat outlook HMSP tidak begitu bagus,” kata Frederik kepada Kontan.co.id, Jumat (4/5).
Di luar itu, ada penyebab lain mengapa saham HMSP tergerus dan saham-saham perbankan seperti BBCA dan BBRI naik peringkat. Frederik mengemukakan, ekonomi Indonesia tidak dihitung dari berapa jumlah rokok yang terjual, melainkan dari sistem perbankan. Pasalnya, perbankan memberikan ke seluruh industri.
Dus, perbankan menurutnya akan selalu berada di top-10, namun untuk menjadi driver atau penggerak bursa, menurut Frederik masih terbatas. Memang, kala ekonomi meningkat, perbankan jelas memiliki taring.
Namun, ketika berbicara mengenai interest rate atau tingkat bunga, di mana saat ini outlook-nya akan meningkat, otomatis lending rate tidak akan langsung mengikuti sehingga ada suatu periode saat net interest margin (NIM) perbankan tergencet.
“Terlalu terburu-buru menyebut perbankan sebagai driver, melainkan mining atau perbankan yang menurut saya bisa menjadi driver. Sektor perbankan bisa tumbuh, namun saya kira butuh waktu, tidak langsung saat ini,” ujar Frederik.
Prospek saham kapitalisasi besar
Jika bicara mengenai BBCA dan BBRI, Frederik memandang dua bank ini merupakan proxy dari ekonomi Indonesia. Maksudnya, setiap investor percaya perekonomian Indonesia bakal membaik, dua saham bank ini selalu menjadi pilihan bagi investor asing.
Nah, kondisi BBCA dan BBRI bisa dikatakan masih bisa berkembang, karena secara kinerja keduanya juga masih membukukan kenaikan laba bersih. BBCA dipandang Frederik merupakan bank transaksi yang terbesar untuk swasta, artinya memiliki kekuatan dalam hal jumlah fee based income yang tinggi serta memiliki keunggulan dalam foreign exchange. Plus, likuiditas BBCA cukup kuat.
BBRI menurutnya menjadi proxy ekonomi Indonesia secara umum. Pasalnya, BBRI memiliki cabang di mana-mana, di seluruh Indonesia sementara BBCA lebih terkonsentrasi di Jawa. Selain itu, BBRI fokus dalam penyaluran kredit mikro. Jadi, secara ekonomi keseluruhan dimana piramidanya lebih banyak kelas menengah dan menengah bawah, maka BBRI bisa menjadi tolok ukur juga.
Saham BBCA dan BBRI dipandang Frederik memandang masih menarik, karena dua bank ini masih rutin membagi dividen dan dividen payout ratio-nya cukup besar juga. Selain itu, harga saham kedua bank ini sudah terdiskon cukup dalam, lantaran sejak sebulan lalu saham-saham big cap terkena aksi jual, termasuk perbankan. Namun, jika investor percaya ekonomi Indonesia masih mampu untuk bertumbuh, tentu saham kedua bank ini tetap menarik.
Sementara, untuk UNVR Frederik tidak melihat saham ini memiliki prospek yang bagus dalam jangka pendek bukan karena valuasinya yang sudah terlalu mahal, melainkan secara year on year (yoy) UNVR labanya mengalami penurunan. Sebuah kondisi yang selama lima tahun ke belakang tidak pernah didengar oleh Frederik.
Untuk saham UNVR Frederik merekomendasikan hold untuk investor, karena hasil kinerja kuartal I-2018 kurang bagus. Selain itu, menjelang bulan puasa investor sebaiknya tetap menunggu.
Sebab, tren dua tahun terakhir untuk UNVR meski memasuki bulan puasa sekalipun, ternyata penjualan justru tidak terlalu terangkat. “Seharusnya memasuki puasa angka penjualan ritel justru naik, tapi ini kok tidak, kan aneh. Jadi, lebih baik tunggu dulu,” ujarnya.
Bagi HMSP sendiri, akibat kenaikan cukai yang memukul margin HMSP maka investor sebaiknya menunggu dulu apakah ada produk dari HMSP yang bisa menarik atau memberikan margin lebih. Meski tidak meng-cover secara detail HMSP, namun Frederik tidak mendengar adanya produk semacam itu.
Untuk BBCA dan BBRI sendiri, Frederik tidak memiliki target harga secara spesifik. Namun, untuk saham perbankan yang ada dalam jajaran 10 besar saham berkapitalisasi besar, Frederik menyebut BBNI juga cukup menarik, target harganya Rp 10.900 per saham.
Alasan mengapa BBNI masih menarik lantaran bunga kreditnya sendiri sudah turun, yang terendah dibanding bank-bank besar lain malah namun laba masih meningkat karena fee based income dan trade financing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News