kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45917,91   -17,61   -1.88%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

GJTL dan BHIT mudah digoyang nilai tukar


Rabu, 17 Mei 2017 / 11:58 WIB
GJTL dan BHIT mudah digoyang nilai tukar


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Lantaran kurs rupiah tahun ini cukup stabil, kebanyakan emiten di bursa saham masih terhindar dari sentimen negatif fluktuasi kurs. Tapi, Moody's Investors Service menilai masih ada sejumlah emiten di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara yang kinerjanya berpotensi tertekan akibat fluktuasi kurs.

Dua di antara emiten yang berpotensi tertekan fluktuasi kurs tersebut berasal dari Indonesia, yakni PT MNC Investama Tbk (BHIT) dan PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL). "Sebab, 70% utang dan sebagian beban penting mereka berdenominasi dollar Amerika Serikat, tapi meraup pendapatan dalam mata uang lokal," kata Annalisa Di Chiara, Vice President and Senior Credit Officer Moody's dalam laporan resmi, Selasa (16/5).

Di Chiara juga menyebut, kondisi kedua emiten ini belum berubah sejak tahun lalu. Per kuartal I-2017, liabilitas bersih dalam mata uang asing BHIT tercatat Rp 5,94 triliun. Di periode yang sama, liabilitas bersih GJTL sebesar Rp 6,14 triliun.

Di Chiara menambahkan, BHIT dan GJTL masih mampu menekan risiko yang muncul akibat eksposur tersebut. Tapi, risiko kedua emiten membesar seiring dengan utang berdenominasi dollar AS yang akan jatuh tempo kurang dari 12 bulan, atau masuk ke utang jangka pendek.

GJTL misalnya. Produsen ban ini memiliki senior secured notes US$ 500 juta yang jatuh tempo Februari 2018. GJTL tengah mengkaji penerbitan surat utang global dengan emisi yang sama guna melunasi utang ini.

Tapi Moody's meragukan kemampuan GJTL untuk menggalang dana. Inilah alasan Moody's menyematkan rating Caa1 negatif bagi GJTL.

Moody's juga memberikan rating Caa2 negatif untuk BHIT. BHIT memiliki utang Rp 5,76 triliun yang segera jatuh tempo. "Risiko kian besar lantaran keduanya memiliki pendapatan dalam rupiah, sehingga tidak ada natural hedging yang bisa memitigasi risiko," kata Di Chiara.

Strategi emiten

Kedua emiten menolak berkomentar terkait strategi guna meminimalisir risiko tersebut. Namun, dalam laporan keuangan BHIT dan GJTL, keduanya memiliki pola yang sama. BHIT dan GJTL sama-sama berusaha menyelaraskan penerimaan dan pembayaran di setiap jenis mata uang.

Menurut Bima Setiaji, analis NH Korindo Sekuritas, strategi ini memang yang paling umum dilakukan ketika emiten tidak memiliki kebijakan lindung nilai, termasuk secara alami sekalipun.

Sederhananya, emiten harus berupaya agar mata uang yang digunakan untuk bertransaksi di sisi liabilitas sama dengan mata uang yang digunakan untuk bertransaksi di sisi aset. Sebenarnya, hal ini juga sulit untuk dilakukan.

GJTL menggunakan sejumlah kurs mata uang asing, mulai dari euro, dollar Singapura dan mata uang lain. Namun, komposisi antara aset yang terdiri dari piutang dan sumber pemasukan lain, masih jauh dari posisi liabilitas.

Hal inilah yang menimbulkan adanya liabilitas bersih yang masih besar pada GJTL. Di sisi lain, per kuartal satu tahun ini GJTL mencatat keuntungan kurs yang berkurang menjadi Rp 50,52 miliar ketimbang kuartal satu tahun lalu dengan keuntungan kurs mencapai Rp 234,63 miliar.

Masih ada skenario lain. Jika impor barang menggunakan dollar AS, maka diupayakan agar penjualan barang di dalam negeri juga dalam dollar AS. Jika ekspor barang dalam dollar AS, maka diupayakan agar mayoritas biaya yang timbul untuk membuat barang tersebut juga dalam dollar AS. "Kalau masih tidak bisa juga, emiten bisa membuat cadangan kas dalam mata uang yang sama dengan lawan transaksi," ujar Bima.

Kas dalam bentuk rupiah bisa dikonversi ke dollar AS. Cadangan ini minimal bisa menutup pembayaran bunga obligasi dalam dollar AS. Oleh sebab itu, kuncinya adalah likuiditas yang berasal dari kelancaran arus kas dan persediaan kas emiten.

Cara yang paling mudah tentu saja hedging. Tapi ini membutuhkan biaya mahal karena perlu mengeluarkan dana semacam jaminan untuk menutup risiko saat kurs rupiah melemah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×