Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS meresahkan banyak kalangan. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) merilis aturan yang membatasi transaksi valuta asing (valas) di dalam negeri. Mengacu Peraturan BI (PBI) No 17/3/PBI/2015, setiap transaksi di wilayah Indonesia (NKRI) wajib memakai rupiah.
Bagi pelaku usaha yang ingin tetap memakai valas, wajib melapor ke Bank Indonesia. Ketentuan tersebut mulai berlaku sejak awal bulan ini. Bagi beberapa emiten, aturan itu memiliki dampak jangka pendek ke laporan keuangan.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, menilai, masih ada beberapa emiten yang melakukan transaksi penjualan di dalam negeri memakai dollar AS. Misalnya, perjanjian sewa menyewa gedung dan transaksi penjualan properti.
Beberapa emiten memang harus beradaptasi lagi terhadap aturan ini. "Dalam bisnis, memang ada beberapa produk yang biasanya dijual langsung dalam dollar AS, karena cost-nya juga banyak unsur dollar," ujar Hans.
Emiten yang bakal terkena efek temporer aturan ini adalah sektor perhotelan, mal dan elektronik. Sebagian emiten properti juga akan menanggung risiko tambahan dari peraturan tersebut. Misalnya, PT Plaza Indonesia Realty Tbk (PLIN).
Beberapa transaksi yang dilakukan dalam dollar AS di dalam negeri, selama ini menjadi beban customer. Misalnya transaksi di industri perhotelan maupun barang elektronik. "Kalau langsung dalam rupiah, beban nilai tukar tak lagi ditanggung customer tetapi langsung ke emiten," jelas Hans.
Dampaknya, emiten di sektor ini harus menambah nilai hedging demi mengurangi dampak rugi kurs. Hans bilang, efeknya memang tak terlalu signifikan, tapi kemungkinan mulai terlihat di laporan keuangan emiten kuartal ketiga nanti.
Selain itu, ada beberapa emiten seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang harus membayar dividen dalam bentuk dollar AS ke pemegang saham. "Ini juga terkena sedikit dampak," ujar Hans.
David Sutyanto, analis First Asia Capital, bilang, emiten yang pembukuannya dalam dollar AS dan memiliki eksposur besar ke dollar, tentu akan terkena imbas aturan ini. "Misalnya emiten CPO dan tambang," ujar dia.
Namun, David lebih menekankan dampak positif aturan ini dalam jangka panjang. "Meski ada imbas jangka pendek bagi emiten, tentu untuk stabilisasi nilai tukar dalam jangka panjang akan positif," imbuh dia.
Pasalnya, pembatasan pemakaian valas pada transaksi dalam negeri membuat rupiah lebih stabil. Dus, emiten akan diuntungkan. "Jadi memang harus didukung seluruh emiten," ujar David.
Hans juga menilai pelemahan rupiah belakangan ini tak berlangsung lama. Di semester kedua Hans memprediksi, rupiah akan menguat seiring kepastian kenaikan bunga The Fed. "Pada September, kemungkinan rupiah menguji Rp 12.500 per dollar AS," imbuh dia.
Khrisna Dwi Setiawan, analis Lauthandana Securindo, mengatakan, aturan pembatasan valas tak berdampak langsung ke emiten. Aturan ini justru membuat fundamental makro ekonomi lebih positif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News