Reporter: Annisa Aninditya Wibawa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Roda ekonomi bergerak melambat, sejumlah korporasi pun selektif ekspansi. Hal itu tecermin dari langkah beberapa emiten yang memangkas belanja modal alias capital expenditure (capex).
PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), misalnya, menyunat capex yang semula Rp 2,3 triliun menjadi Rp 1,72 triliun. "Kami menurunkan capex sebesar 25%," ungkap Direktur Keuangan ANTM Aloysius Kiik Ro, beberapa waktu lalu.
ANTM menunda sejumlah proyek kecil. Di sisi lain, emiten pelat merah ini berupaya meningkatkan efisiensi seperti menekan biaya perawatan gedung. Penyusutan hal kecil seperti itu cukup terasa apabila diakumulasi.
Aloysius menekankan pemangkasan anggaran kali ini untuk capex rutin, atau di luar proyek besar yang bakal digarap ANTM. Saat ini, ANTM berencana menggarap tiga proyek bernilai investasi jumbo. Pertama, proyek feronikel di Halmahera Timur senilai US$ 1,6 miliar. Kedua, ANTM memiliki proyek anode slime dengan investasi US$ 40 juta. Ketiga, produsen nikel dan emas ini siap menggarap smelter grade alumina (SGA) di Mempawah senilai US$ 1,7 miliar.
Selain ANTM, emiten lain yang menghitung ulang investasinya adalah PT Timah Tbk (TINS). Produsen timah pelat merah ini memotong belanja modal sebesar 30% menjadi Rp 840 miliar dari rencana semula Rp 1,2 triliun. Dalam evaluasi rencana investasinya, proyek TINS yang bersifat jangka panjang dan di luar produksi akan dikurangi.
Prospek emiten
Kemudian emiten pakan ternak PT Japfa Comfeed Tbk (JPFA) juga menurunkan belanja modal dari rencana awal Rp 1,8 triliun menjadi Rp 1,6 triliun. Penurunan itu karena produksi ayam usia sehari atau day old chicken (DOC) JPFA dianggap masih berlebih.
Tak mau ketinggalan, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) pun mengurangi pemanfaatan belanja modalnya. Di rencana awal, KLBF mengalokasikan capex Rp 1 triliun hingga Rp 1,3 triliun. Namun, nilai yang akan dieksekusi pada tahun ini berkisar Rp 900 miliar sampai Rp 1 triliun.
"Kami mengalokasikan belanja modal tersebut di berbagai pabrik baru, yakni produk nutrisi, obat bebas dan biosimilar," sebut Direktur Keuangan KLBF Vidjongtius, Selasa, (7/7).
Analis First Asia Capital David Nathanael Sutyanto berpendapat, JPFA mengalami siklus salah impor di bisnis DOC. Sebelumnya, emiten pakan ternak ini terlalu banyak mengimpor DOC. Alhasil, JPFA mengalami kelebihan pasokan DOC. Hukum besi ekonomi pun berlaku, ketika pasona berlebih, maka harga DOC menyusut sehingga menipiskan margin JPFA.
Menyinggung ANTM dan TINS, David mengatakan harga komoditas di pasar global tidak mendukung. Jadi, ketimbang melakukan eksplorasi, ANTM dan TINS pun menyimpan uangnya untuk menggarap bisnis yang lebih menjanjikan.
David mendasari penilaiannya pada perekonomian Indonesia yang tumbuh lambat. Situasi ini menyebabkan emiten mengerem ekspansi. "Ini contoh nyata perlambatan ekonomi. Dari capex pun terasa," ucap dia kepada KONTAN, Selasa (7/7).
Perlambatan ekspansi emiten bisa terjadi hingga tahun depan. Jika ekspansi pulih di tahun depan, menurut David, semestinya emiten sudah menyiapkan pengeluaran dari sekarang.
David memperkirakan, pendapatan emiten di semester pertama tahun ini masih melambat. Melambatnya kinerja emiten akan berlanjut sampai akhir tahun nanti. Menurut dia, saat ini pasar bertumpu pada penyerapan belanja pemerintah dan usaha pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News