Reporter: Amailia Putri Hasniawati, Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Mengekor kondisi global, perekonomian nasional diprediksi melambat pada tahun ini. Indikasinya, pertumbuhan kredit perbankan melambat. Salah satu penyebabnya, mayoritas perusahaan di Indonesia tengah mengerem ekspansi.
Kesimpulan itu juga terekam oleh Standard & Poor's Ratings Services (S&P). Di awal bulan ini, S&P memproyeksikan nilai belanja modal (capex) perusahaan Indonesia sepanjang 2015 menyusut. Ini adalah penurunan pertama dalam lima tahun terakhir.
Ada beberapa faktor yang menjadi biang kerok korporasi mengerem ekspansi. Misalnya, suplai barang melimpah sementara konsumsi masih rendah. Di saat yang sama, nilai rupiah terhadap dollar AS belum stabil dan beban akibat kenaikan bahan bakar minyak masih menggerogoti sejumlah emiten.
S&P memprediksikan, belanja modal perusahaan tahun ini menyusut 2% dibanding tahun lalu. Pada 2014, belanja modal perusahaan naik lebih dari 15% year on year (yoy). "Melihat angka suplai dan demand beberapa sektor, kami yakin perusahaan telah memenuhi kapasitas untuk keperluan dua hingga tiga tahun mendatang," ujar Xavier Jean, Direktur Rating Korporasi S&P belum lama ini.
Dengan kata lain, korporasi tak perlu menambah investasi lagi. S&P merating 30 perusahaan di Indonesia. Sebanyak 23 perusahaan di antaranya adalah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Lini bisnis perusahaan itu bergerak di berbagai sektor, seperti pertambangan, migas, ritel, properti dan konsumer. S&P tak merinci belanja modal tiap emiten. Tapi total jenderal, tahun ini belanja modal 30 perusahaan itu sekitar Rp 166,6 triliun, sementara tahun lalu mencapai Rp 170 triliun.
S&P memperingatkan, emiten harus lebih waspada berekspansi, karena bisa menggerus laba. Kondisi domestik yang belum stabil, suplai dan permintaan tak seimbang, bisa menekan laba. "Kami memperkirakan, rata-rata margin EBITDA perusahaan yang kami rating di 28%-30% di 2015," kata Jean.
Angka itu di bawah rata-rata margin EBITDA tahun 2013 yang sebesar 36%. Adapun margin EBITDA emiten tahun lalu di kisaran 30%.
Berdasarkan catatan KONTAN, Japfa Comfeed Indonesia (JPFA) memangkas belanja modal menjadi Rp 750 miliar dari tahun lalu Rp 1,6 triliun. Di sektor pertambangan, Indo Tambangraya Megah (ITMG) menurunkan belanja modal menjadi US$ 55 juta dari tahun lalu US$ 60 juta.
PT Indika Energy Tbk (INDY) juga melakukan hal sama. Tahun ini, perusahaan tersebut menyediakan belanja modal di bawah US$ 100 juta, sementara tahun lalu senilai US$ 113,5 juta.
Analis BNI Securities Thendra Chrisnanda menilai, banyak emiten terpengaruh siklus ekonomi saat ini. Menurunkan capex merupakan salah satu strategi menyesuaikan kondisi ekonomi. "Jika memaksakan diri menggenjot ekspansi, dampaknya justru negatif," ujar dia, Selasa (21/4).
Dengan memangkas belanja, pendapatan menurun. Korporasi masih bisa mengamankan profit melalui efisiensi.
Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Daniel Rachmat berpendapat, capex adalah kebutuhan jangka panjang. Oleh karena itu, pelaku usaha tidak hanya mempertimbangkan kondisi ekonomi satu-dua kuartal, tapi hingga satu tahun ke depan bahkan lebih.
Ia melihat, sektor pertambangan sedang flat, sehingga emiten tak perlu mengeluarkan banyak belanja modal. Demikian juga sektor perkebunan, meski kondisinya tak separah tambang mineral.
Tetap ada perusahaan yang mengerek belanja modal, misalnya sektor infrastruktur dan konstruksi. Mereka ingin mengalap berkah proyek infrastruktur pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News