kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   -7.000   -0,37%
  • USD/IDR 16.255   69,00   0,43%
  • IDX 6.901   35,74   0,52%
  • KOMPAS100 1.004   4,88   0,49%
  • LQ45 768   3,99   0,52%
  • ISSI 227   1,02   0,45%
  • IDX30 396   2,65   0,67%
  • IDXHIDIV20 457   1,32   0,29%
  • IDX80 113   0,52   0,46%
  • IDXV30 114   -0,13   -0,12%
  • IDXQ30 128   0,82   0,64%

Ekonomi Global Turun, Harga Minyak Dunia Ikut Melemah


Senin, 07 Juli 2025 / 21:33 WIB
Ekonomi Global Turun, Harga Minyak Dunia Ikut Melemah
ILUSTRASI. REUTERS/Pascal Rossignol. Turunnya permintaan terhadap minyak dunia terlihat dari harga komoditas ini yang mengalami pelemahan.


Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Turunnya permintaan terhadap minyak dunia terlihat dari harga komoditas ini yang mengalami pelemahan. Tak hanya lantaran rencana produksi OPEC+ yang meningkat, ekonomi global yang melemah tahun ini pun berkontribusi terhadap penurunan.

Berdasarkan Tradingeconomics, pada Senin (7/7) pukul 17.53, harga minyak mentah WTI naik tipis 0,74% secara harian, tetapi terkoreksi 6,46% sepanjang tahun berjalan.

Begitu juga dengan minyak mentah Brent yang naik ke level 0,63%. Namun, turun 7,83% secara year-to-date (ytd).

Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, memproyeksi harga minyak dunia berada di level US$ 60 pada akhir kuartal III-2025. Sementara untuk akhir tahun, ia memprediksi harga minyak berada di kisaran US$ 50–55. 

Baca Juga: Permintaan Turun, Harga Minyak Mentah Diprediksi US$ 60 pada Akhir Kuartal III-2025

“Peningkatan produksi tentunya juga sangat berandil, dengan pemulihan sebesar 548.000 bph, lebih besar daripada 411.000 bph sebelumnya memicu harapan untuk pemulihan yang lebih besar ke depannya,” katanya kepada Kontan, Senin (7/7).

Tak hanya itu, menurut Lukman, harapan pasar terhadap meredanya ketegangan konflik di Timur Tengah–turut menjadi faktor pendorong pelemahan harga minyak dunia.

“Harapan akan deeskalasi di Timur Tengah oleh intervensi AS dengan mengebom fasilitas nuklir Iran, yang diharapkan akan memberikan tekanan untuk melepaskan ambisi nuklir,” lanjutnya.

Menurut Lukman, kini permintaan minyak bukan hanya telah menyentuh puncak. Tapi, juga telah berada di dalam tren penurunan. 

Apalagi, dengan adanya ketidakpastian seputar tarif, perekonomian global yang lebih lemah tahun ini, serta elektrifikasi kendaraan yang tumbuh pesat di seluruh dunia.

“Selain itu, produksi di Amerika Utara yang terus digenjot akan terus menggerus pangsa pasar OPEC+ apabila mereka tidak memulihkan produksi,” imbuh Lukman.

Sementara itu, Analis Senior Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha mengatakan, peningkatan produksi OPEC+ sebesar 548.000 bph pada Agustus nanti, diperkirakan akan bertambah menjadi 550.000 bph pada September. Hal ini menurutnya merupakan salah satu faktor utama penekanan harga minyak WTI.

“Ini mengembalikan mayoritas dari pemangkasan produksi sebelumnya, sehingga suplai global bertambah, menekan harga (minyak) WTI,” kata dia.

Lebih lanjut, meningkatnya inventaris global dan Amerika Serikat (AS) juga menjadi faktor utama lainnya. “Stok minyak di AS dan global juga meningkat, yang kemudian menjadi beban harga minyak WTI,” tutur Andy. Ditambah lagi, permintaan global sedang stagnan/melemah.

Andy bilang, sentimen pasar non-fundamental seperti ketidakpastian geopolitik pun memengaruhi.

"Eskalasi konflik di Timur Tengah, seperti isu Iran–Israel, dapat menyebabkan lonjakan singkat. Meskipun dampaknya biasanya bersifat temporer,” tuturnya.

Lebih lanjut, sentimen spekulan dan dana non-komersial. Andy bilang, banyak hedge fund yang memangkas posisi beli (long) dan beralih menjual (short) karena ekspektasi tren yang turun.

Adapun faktor yang memengaruhi penurunan harga minyak mentah lainnya adalah musim badai di Gulf Coast, Amerika Serikat.

“Musim badai menambah risiko suplai, memberikan support tersendiri harga secara keseluruhan masih berada dalam tekanan,” lanjut Andy.

Berdasarkan proyeksinyai, harga minyak WTI berada di level US$ 58–60 per barel pada akhir tahun, didorong kondisi berlebih supply dan stok menguat.

Sementara itu, pada akhir kuartal III-2025, Andy memperkirakan, minyak WTI berkisar di antara US$ 64–72 per barel, dengan volatilitas tinggi. Hal ini mengingat kombinasi ketidakpastian geopolitik dan indikator ekonomi global.

“Kemungkinan ada rebound, jika terjadi gangguan supply seperti geopolitik dan badai, dan posisi short squeeze,” lanjutnya.

Meski begitu, secara umum, Andy menilai tekanan akibat OPEC+ dan stok tinggi cenderung menahan potensi adanya kenaikan harga secara signifikan.

Baca Juga: Harga Minyak Lanjutkan Pelemahan, Ini Penyebabnya

Selanjutnya: Negosiasi Tarif, Pertamina Akan Teken Kesepakatan Jumbo US$ 34 Miliar dengan AS

Menarik Dibaca: KAI Layani 3,49 Juta Pelanggan Selama Libur Sekolah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×