Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga minyak mentah melanjutkan pelemahan, menyusul rencana meningkatnya produksi oleh OPEC+ pada Agustus mendatang.
Melansir Tradingeconomics, pada Senin (7/7) pukul 09.21 WIB, harga minyak mentah WTI berada di level US$ 65.797 per barel. Harga ini tercatat turun 0,99% dalam sehari, naik tipis 0,71% secara bulanan, namun masih terkoreksi hingga 8,27% secara year-to-date (ytd).
Sementara itu, harga minyak mentah Brent berada di posisi US$ 67.622 per barel, melemah 0,96% secara harian. Meski mengalami kenaikan tipis 0,87% dalam sebulan terakhir, harga Brent juga tercatat turun 9,40% sepanjang tahun berjalan.
Analis Senior Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha mengatakan, peningkatan produksi OPEC+ sebesar 548.000 bph pada Agustus nanti, diperkirakan akan bertambah menjadi 550.000 bph pada September. Hal ini menurutnya merupakan salah satu faktor utama penekanan harga minyak WTI.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Turun 1% Senin (7/7) Pagi, Usai OPEC+ Percepat Kenaikan Produksi
“Ini mengembalikan mayoritas dari pemangkasan produksi sebelumnya, sehingga suplai global bertambah, menekan harga (minyak) WTI,” katanya kepada Kontan, Senin (7/7).
Lebih lanjut, meningkatnya inventaris global dan Amerika Serikat (AS) juga menjadi faktor utama lainnya. “Stok minyak di AS dan global juga meningkat, yang kemudian menjadi beban harga minyak WTI,” tutur Andy. Ditambah, permintaan global sedang stagnan/melemah.
Menurut Andy, sentimen pasar non-fundamental seperti ketidakpastian geopolitik juga menjadi faktor pengaruh.
"Eskalasi konflik di Timur Tengah, seperti isu Iran–Israel, dapat menyebabkan lonjakan singkat. Meskipun dampaknya biasanya bersifat temporer,” tuturnya.
Selain itu, sentimen spekulan dan dana non-komersial. Andy bilang, banyak hedge fund yang memangkas posisi beli (long) dan beralih menjual (short) karena ekspektasi tren yang turun.
Faktor yang memengaruhi penurunan harga minyak mentah lainnya adalah musim badai di Gulf Coast, Amerika Serikat.
“Musim badai menambah risiko suplai, memberikan support tersendiri harga secara keseluruhan masih berada dalam tekanan,” lanjut Andy.
Baca Juga: Strategi Indonesia Rayu AS Jelang Tarif Trump: Impor Minyak Mentah, LPG, hingga LNG
Ia memproyeksi harga minyak WTI berada di level US$ 58–US$ 60 per barel pada akhir tahun, didukung kondisi berlebih supply dan stok menguat.
Sedangkan pada akhir kuartal III-2025, Andy memperkirakan, minyak WTI berkisar di antara US$ 64–US$ 72 per barel, dengan volatilitas tinggi. Ini mengingat kombinasi ketidakpastian geopolitik dan indikator ekonomi global.
“Kemungkinan ada rebound, jika terjadi gangguan supply seperti geopolitik dan badai, dan posisi short squeeze,” lanjutnya.
Namun, secara umum Andy menilai, tekanan akibat OPEC+ dan stok tinggi cenderung menahan potensi adanya kenaikan harga secara signifikan.
Selanjutnya: Pramono Anung Ungkap Alasan Golf Tidak Dikenakan Pajak Hiburan
Menarik Dibaca: Kolaborasi Aquviva dan Plasticpay Sediakan Mesin Daur Ulang di Area Publik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News