Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
Nah yang ketiga, apakah digital ekonomi bisa meningkatkan overall economy productivity? Sejauh ini risetnya kalau menurut saya belum ada. Ini kan fenomena baru. Di luar negeri sendiri saya lihat di Amerika dan China, ini kan baru fenomena 4 tahun terakhir. Dan belum cukup informasi untuk menghitung dampak dari digitalisasi ini terhadap kenaikan, penurunan, atau stagnasi dari overall produktivitas ekonomi.
Kalau produktivitas ekonomi itu meningkat secara keseluruhan mungkin baik. Tapi kalau di Indonesia kan masalahnya, kalau pun ada produktivitas, itu kan hanya elemen nomor 3 karena elemen no 1 dan 2 masalah pengangguran dan economic disparitas. Jadi secara hipotetis saja mungkin sih dalam jangka pendek akan terjadi fragmentasi di dalam struktur ekonomi kita yang memang sudah terfragmentasi sebelumnya.
Kalau kita lihat struktur industri manufaktur di Indonesia, itu kan kira-kira, 85% itu skill level-nya sangat rendah, dan agak rendah. Jadi primary school itu sekitar 45%, 40% sisanya secondary school, tertiary itu cuma 15%.
Nah dengan adanya mekanisasi, digitalisasi, IoT, proses manufaktur akan menjadi semakin otomatis. Ini kan yang 85% akan kehilangan pekerjaan. Nah sementara orang-orang yang mampu melakukan otomatisasi itu yang 15% dan gajinya pasti gede.
Kalau misalnya 100%-nya ini mengalami kenaikan produktivitas karena otomatisasi, Itu kan pasti cuma yang 15%. Ini yang saya sebut fragmentasi dalam struktur produksi. Ya saya tidak mau berspekulasi, tap ini artinya menjadi semakin sulit untuk menurunkan angka pengangguran dan tingkat disparitas pendapatan. Sehingga isu di AS yang terjadi 1% vs 99% itu ya kemungkinan akan terjadi di kita.
Seperti bank digital ada Bank Jago yang akan segera beroperasi. Ini kan bank yang akan menggabungkan platformnya dengan e-commerce?
Saya rasa yang akan masuk ke sana tidak hanya Bank Jago, akan ada BCA dan Bank CIMB Niaga yang juga akan masuk di sini. Lihat saja kalau mereka meluncurkan produknya. Tapi kalau kita bicara ekosistem ya belum ada secara nasional ya.
Jaringan 3G saja susah apalagi 4G, bagaimana kita bisa mau menjadi seperti Amazon atau Alibaba
Ini kan hanya satu fragmen dari satu ekosistem besar. Kalau misalnya dibandingkan Alibaba sudah seperti supermarket, ya itu ekosistem sudah jauh. Atau misalnya seperti Amazon kan sudah jauh sekali.
Tapi kita kan infrastruktur atau superstructure masih belum ada. Contohnya kalau kita mau melakukan digital farming, maksudnya menjual produk agrikultur bisa langsung masuk ke supermarket. Dari digital farming mau masuk ke pengepul, pengepul dicuci langsung masuk ke supermarket, pabriknya juga langsung tahu untuk mengalokasikan di Sumatera, Jakarta, atau Bandung misalnya. Ini kan butuh internet of thing, drone, dan segala macam. Tapi kan infrastrukturnya, mencari 3G di Lombok saja susah byar pet seperti begitu. Padahal tidak jauh dari Mandalika.
Kalau dilihat-lihat tower bersamanya saja tidak ada. Jaringan 3G saja susah apalagi 4G, bagaimana kita bisa mau menjadi seperti Amazon atau Alibaba. Belum. Masih jauh untuk itu semua. Ini baru tahap mimpi, tapi gak apa-apa mimpi dulu daripada enggak punya mimpi.
Ini digital bank dan bank digital kan berbeda katanya. Nah apakah dengan aturan baru bank digital ini peraturan bank-nya akan menjadi lebih soft?
Nah ini lebih hati-hati, kayak contohnya fintech itu kan peraturannya sangat loose. Sehingga kenapa kemarin terjadi kasus BPJS Kesehatan datanya. Bagaimana mencari data yang gampang, ke Dukcapil tidak bisa, BPJS Kesehatan yang menjadi sasaran. Ini kan kasusnya sampai sekarang tidak ketahuan.
Dibobol kan definisinya macam-macam. Dibobol dari pengertian ada orang membawa USB dan di-download semuanya ke dalam USB itu berarti bobolnya offline. Bobol dalam pengertian online ada 2 definisi, satu pakai metode phishing atau backdoor. Kalau phishing kan dimasukkan malware, tapi kalau ini yang terjadi kan ada peningkatan traffic pada waktu download atau upload. Itu kan gampang untuk penyelidikannya, cek di server-nya. Tapi kalau bukan phishing itu kan berarti pakai backdoor, artinya harus cek siapa yang bikin sistemnya. Kan gampang untuk lihatnya. Cuma masalahnya mau dibongkar atau enggak. Nah sekarang data-data itu larinya ke mana jangan-jangan ke China atau Singapura lagi.
Kalau bicara di pasar saham, bagaimana Anda melihat kondisi pasar saham sekarang ini, di mana emiten yang masuk kebanyakan kecil dan banyak menjadi ajang spekulasi?
IHSG naik turun itu bukan karena isu kalau menurut saya. IHSG itu kan baik turun kombinasi dari 3 faktor. Underlying earning seperti apa, kondisi likuiditasnya seperti apa, dan persepsi risikonya seperti apa, ketiganya bermain secara bersamaan.
Fakta bahwa IHSG gagal melulu tembus 6.500 itu kan artinya ada masalah besar dari ketiga faktor ini. Masalah likuiditas, persepsi risiko, dan masalah underlying earning, memang secara struktural corporate earning-nya tidak bisa naik.
Sementara likuiditasnya itu bukan di-drive oleh investor institusi, lebih banyak oleh investor ritel. Dan investor ritel ini kan bukan long term, mereka cuma mau cari untung saja, mau beli cepat jual cepat. Jadi artinya market ini stagnan di sini karena mungkin sebagian besar dari investor cuma mau tek-tok doang. Makanya IHSG di 5.500, 6.100, balik lagi. Ya tek-tok karena tek-tok semuanya, makanya likuiditasnya juga tek-tok.
Artinya masalah fundamental kan, bukan masalah teknis.
Tapi ada juga masalah persepsi risiko, karena ini menggambarkan perpindahan antara asset class, antara big cap-small cap, equity, bond, government dan corporate bond itu akan bergerak terus. Kenapa bergerak terus, karena market kita sangat sensitif, sangat fragile.
Perubahan dari DXY atau indeks dolar 2 basis poin indeks atau 5-6 basis poin US treasury, rupiah bisa bergerak 700 basis poin. Sensitif sekali rupiahnya. Kalau orangnya sensi itu kenapa? Biasanya gak pede atau insecure. Berarti kan kalau dilihat market kita tidak secure. Artinya masalah fundamental kan, bukan masalah teknis.
Sebagai investor kalau kita menempatkan portofolio sekarang ini di mana sebaiknya?
Semua investor yang kita ajak ngomong itu, yang dikasih nasihat itu kan ritel. Ya dikasih nasihat untuk long term juga gak mau dia. Jadi pertanyaan kamu mesti diubah, bukan investor mesti ngapain, karena jawabannya sudah pasti. Investor ritel buy low sell high saja, sudah jelas jawabannya.
Karena kalau misalnya saya bilang harus ke valuasinya begini di sektor begini karena ini begini-begitu, begini-begitu, itu kan untuk institusional investor. Dibilang wah kamu orang tua, saya enggak begitu, ya sudah buy low sell high saja sudah.
Market-nya volatile, ya buy low sell high. Jadi cari saja sudah saham-saham yang volatility paling tinggi, sudah itu saja. Jangan susah-susah cari valuasi. Cari saja saham yang paling volatile harganya.
Padahal kalau ngomong buy low sell high, kalau secara akademis atau aslinya ya, kan bukan IHSG turun beli, IHSG naik jual. Itu buy low sell high in term of price. Indeks harga saham kan harga. Yang diajarkan di investment kan bukan harga tapi valuasi. Buy when the valuation is low, sell when the valuation is high. Jadi kita bicara konsepnya PBV atau PER atau economic value. Bukan price, tapi value, valuation. Nah di sini jadinya price.
Yang paling baik adalah beli saja valuasi yang paling murah nanti jual saat valuasinya mulai naik. Itu best advice I can’t give, in this circumstance. Dua, jangan mendengarkan nabi palsu, seperti saya pernah ngomong. Yang ketiga kalau mau untung jangan main keroyokan.Kalau misalnya 1.000 orang masuk ke saham X, kamu ikutan dengan 1.000 orang itu. Itu kan begitu kamu masuknya agak terlambat yang 999 orang keluar kamu ketinggalan sendirian. Don’t play with the crowd. Make your own value judgment.
Kalau saya sih aset kelas untuk equity sudahlah big cap saja yang aman-aman saja. Big cap yang valuation jelas dan business governance-nya jelas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News