Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proyeksi pertumbuhan ekonomi di kuartal 2 yang bisa mencapai 7% tentunya menjadi angin segar untuk pasar saham kita. Tapi bagaimana efek kenaikan pertumbuhan ekonomi ini kalau dilihat lebih jauh? Apakah benar perekonomian dan pasar saham kita sudah siap melompat tinggi?
Berikut ini wawancara khusus Adrian Panggabean ekonom senior, praktisi keuangan dan investasi dengan Kontan.
Bagaimana Anda melihat target pertumbuhan ekonomi kita ini yang kabarnya akan mencapai 7%-8% di kuartal 2 ini. Apakah itu achievable?
Kalau saya lihat dari perhitungan business cycle yang saya lakukan, di kuartal pertama kita negatif. Tetapi kita ini sudah mulai berada pada very early stage of economic recovery. Jadi kalau misalnya kurva business cycle itu bentuknya kan seperti kurva sinus, kita itu ada di bawah. Masih di bawah, tapi sudah mulai naik dari titik terbawah. Baru mulai naik dari titik terbawah.
Jadi kalau misalnya kuartal 2 tahun lalu itu -5%, lalu kemudian -2 di kuartal 4 2020. Itu bukan berarti di bawah di titik bawah di kurva sinus itu, -5% itu bukan di bottom-nya kurva. Bottom -nya kurva itu -2%. Jadi -0,7 itu pas kita baru naik.
Nah jadi di kuartal 1 itu kita baru masuk di very early stage of recovery. Sehingga kalau melihat dari kurva business cycle dan semua leading indicator yang ada kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi kita di kuartal 2 berkisar antara 6%-7%. Jadi artinya 7% itu ada dalam range yang achievable, 6% itu most likely achievable. Cuma kalau kita bilang 8%, menurut saya terlampau terlampau optimis.
... kontributor terbesar dari pertumbuhan di kuartal 2 ini adalah net ekspor.
Apa yang menjadi pendorongnya?
Kalau melihat dari semua variabel yang menjadi determinan cycle kontributor terbesar dari pertumbuhan di kuartal 2 ini adalah net ekspor. Ekspor kita positif sementara impor belum menanjak, sehingga kita surplus terus perdagangan. Kita masih tetap negatif di transaksi berjalan atau current account, tapi itu mengindikasikan bahwa driver utama dari pertumbuhan di kuartal 2 itu adalah net ekspor.
Driver berikutnya di kuartal 2 itu adalah base effect, memang kita di kuartal 2 tahun 2020 kan -5%. Jadi apa yang lebih sering saya sebut low base effect atau efek trampolin. Jadi dia sudah nyungsep di bawah mental dia. Jadi dia jatuh kan, kalau badan berat jatuh itu mentalnya lumayan tinggi. Tapi dalam dinamika quarter on quarter pertumbuhan kita sih di tahun di kuartal 2 relatif sama, mungkin masih 1%-1,5%. Jadi enggak banyak dan ini benar-benar diterangkan oleh ekspor.
Nah kalau pertumbuhannya itu mencapai 6%-7% di kuartal 2 dan di kuartal 3 dan 4 misalnya berkisar 4%-4,5% . Dilihat dari momentum ekonominya hanya mungkin sekitar itu ya. Ini artinya pertumbuhan ekonomi kita di atas kertas akan ada di antara 3,5%-3,8% untuk full year ya.
Apa konsekuensi pertumbuhan yang di bawah dari ekspektasi ini?
Let say katakan kita omong kosong saja 3,8% saja ya, tahun lalu -2,1%. Jadi kan dalam 2 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kan rata-ratanya 1,7% dibagi 2 kan 0,8%. Jadi pertumbuhan rata-rata selama 2 tahun terakhir itu 0,8%.
Nah kalau menurut estimasi yang disampaikan oleh pemerintah sendiri, setiap 1% pertumbuhan ekonomi kan bisa menciptakan 300 ribu lapangan pekerjaan. Jadi kalau 2 tahun berarti 1,7 kali dikali 300 ribu kan berarti 500 ribu ya. Jadi dalam 2 tahun terakhir yaitu 2020 dan 2021 ada tambahan lapangan pekerjaan kita sebanyak 500 ribu.
Sementara setiap tahun ada orang yang masuk ke angkatan kerja baru sekitar 2,7 juta orang. Kalau 2 tahun kan artinya 5,4 juta. Jadi ada 500 ribu lapangan kerja yang tercipta dalam 2 tahun ini 2020 dan 2021, tapi ada 5,4 juta orang masuk ke dalam angkatan kerja. Artinya akan ada tambahan pengangguran sebanyak 5,4 juta kurang 0,5 atau sekitar 4,9 juta orang.
Kalau open unemployment ini kita gabungkan dengan pengangguran setengah terbuka atau pekerja paruh waktu, ya mungkin tahun in juga akan kita lihat jumlah orang yang terkena dampak itu mirip dengan tahun lalu, sekitar 20-30 juta orang. Ini kan termasuk orang yang gajinya kena potong, ya atau kontrak tidak diperpanjang, paruh waktu, ini sesuai laporannya BPS.
Intinya adalah kondisi sosial itu belum membaik. Belum akan membaik dengan pertumbuhan positif di tahun ini. Karena dalam struktur level, pertumbuhan ini masih belum memberikan manfaat atau buah yang baik kepada masyarakat.
Masyarakat dalam pengertian tenaga kerja ya, penciptaan lapangan kerja, pendapatan per kapita, dan lain sebagainya. Ini jadinya pertumbuhan ekonomi, kalau pun jadi positif di tahun ini itu sifatnya masih fragile.
Ini konsisten kan dengan apa yang saya sampaikan tadi kuartal 1 itu masih pada very early stage of recovery. Nah jadi di kuartal 2, 3, 4 kalau pertumbuhannya itu 6%-7% di kuartal 2, tumbuh 4%-4,5% di kuartal 3 dan 4, kita baru masuk early stage of recovery. Jadi kalau tadi kuartal 1 very early stage of recovery, pada akhir 2021 baru masuk early stage of recovery. Dengan karakteristik recovery dan pertumbuhan ekonomi yang masih fragile.
Justru pada saat kita mulai pada early stage recovery bukan berarti kita bisa melakukan aktivitas yang justru membahayakan pilar-pilar yang sedang berkembang, karena masih very early dan fragile gitu kan. Justru kita harus semakin berhati-hati.
Misalnya kita mulai melakukan investasi besar-besaran misalnya di infrastruktur di tahun ini. Kalau misalnya ada ide itu ya, ya harus dihindari.
Aktivitas seperti apa maksudnya?
Apa saja yang membuat kita mulai bergerak. Misalnya kita mulai melakukan investasi besar-besaran misalnya di infrastruktur di tahun ini. Kalau misalnya ada ide itu ya, ya harus dihindari.
Kemudian kita misalnya ingin melakukan tax amnesty di tahun ini. Itu mesti dihindari. Karena tax amnesty ini kan ibaratnya aliran darah baru yang diciptakan secara anorganik.
Padahal aliran darah baru yang organik itu justru yang dibutuhkan. Karena kalau misalnya coba distimulasi secara anorganik, padahal sebetulnya masyarakat itu masih sedia payung sebelum hujan. Ya orang-orang belum mau belanja, bahkan lagi menghemat uangnya, menghemat belanjanya agar supaya bisa bertahan seandainya situasi ini berkembang lebih lama.
Kemudian tiba-tiba uangnya diambil disetor ke negara. Apa yang akan terjadi? Sistem itu akan upset. Masyarakat akan berpikir sudah kalau begitu dipindahkan saja uang saya di sebuah aset lain atau saya tidak mau melakukan apa-apa. Pada akhirnya sistem collapse. Jadi justru pada tahun 2021 kebijakan itu harus hati-hati.
Bukannya pembangunan infrastruktur besar-besaran itu diharapkan bisa memicu pertumbuhan ekonomi lebih baik?
Kalau kamu lihat statistik di PN Niaga saja, tahun lalu itu sudah 700 berapa, 750-an kasus kalau saya tidak lupa.Tahun ini sampai Bulan Mei saja sudah 350. Dan ini artinya ada masalah dengan pengangguran, ada masalah juga dengan dinamika produksi.
Bagaimana dengan perkembangan ekonomi digital yang katanya bisa membuat accessibilities orang terhadap sistem ekonomi lebih baik. Apakah betul ini bisa mengangkat perekonomian?
Kalau kita melihat perkembangan di negara-negara lain, fenomena ini menyebabkan perekonomian lebih ke capital intensive. Lalu yang kedua perkembangan ini menyebabkan divergence income, disparitas pendapatan menjadi semakin lebar. Gaji lebih besar akan diperoleh oleh orang-orang yang lebih canggih karena orang-orang ini memang canggih di lapangan pekerjaannya.
Jadi secara hipotetis saja mungkin sih dalam jangka pendek akan terjadi fragmentasi di dalam struktur ekonomi kita yang memang sudah terfragmentasi sebelumnya.
Nah yang ketiga, apakah digital ekonomi bisa meningkatkan overall economy productivity? Sejauh ini risetnya kalau menurut saya belum ada. Ini kan fenomena baru. Di luar negeri sendiri saya lihat di Amerika dan China, ini kan baru fenomena 4 tahun terakhir. Dan belum cukup informasi untuk menghitung dampak dari digitalisasi ini terhadap kenaikan, penurunan, atau stagnasi dari overall produktivitas ekonomi.
Kalau produktivitas ekonomi itu meningkat secara keseluruhan mungkin baik. Tapi kalau di Indonesia kan masalahnya, kalau pun ada produktivitas, itu kan hanya elemen nomor 3 karena elemen no 1 dan 2 masalah pengangguran dan economic disparitas. Jadi secara hipotetis saja mungkin sih dalam jangka pendek akan terjadi fragmentasi di dalam struktur ekonomi kita yang memang sudah terfragmentasi sebelumnya.
Kalau kita lihat struktur industri manufaktur di Indonesia, itu kan kira-kira, 85% itu skill level-nya sangat rendah, dan agak rendah. Jadi primary school itu sekitar 45%, 40% sisanya secondary school, tertiary itu cuma 15%.
Nah dengan adanya mekanisasi, digitalisasi, IoT, proses manufaktur akan menjadi semakin otomatis. Ini kan yang 85% akan kehilangan pekerjaan. Nah sementara orang-orang yang mampu melakukan otomatisasi itu yang 15% dan gajinya pasti gede.
Kalau misalnya 100%-nya ini mengalami kenaikan produktivitas karena otomatisasi, Itu kan pasti cuma yang 15%. Ini yang saya sebut fragmentasi dalam struktur produksi. Ya saya tidak mau berspekulasi, tap ini artinya menjadi semakin sulit untuk menurunkan angka pengangguran dan tingkat disparitas pendapatan. Sehingga isu di AS yang terjadi 1% vs 99% itu ya kemungkinan akan terjadi di kita.
Seperti bank digital ada Bank Jago yang akan segera beroperasi. Ini kan bank yang akan menggabungkan platformnya dengan e-commerce?
Saya rasa yang akan masuk ke sana tidak hanya Bank Jago, akan ada BCA dan Bank CIMB Niaga yang juga akan masuk di sini. Lihat saja kalau mereka meluncurkan produknya. Tapi kalau kita bicara ekosistem ya belum ada secara nasional ya.
Jaringan 3G saja susah apalagi 4G, bagaimana kita bisa mau menjadi seperti Amazon atau Alibaba
Ini kan hanya satu fragmen dari satu ekosistem besar. Kalau misalnya dibandingkan Alibaba sudah seperti supermarket, ya itu ekosistem sudah jauh. Atau misalnya seperti Amazon kan sudah jauh sekali.
Tapi kita kan infrastruktur atau superstructure masih belum ada. Contohnya kalau kita mau melakukan digital farming, maksudnya menjual produk agrikultur bisa langsung masuk ke supermarket. Dari digital farming mau masuk ke pengepul, pengepul dicuci langsung masuk ke supermarket, pabriknya juga langsung tahu untuk mengalokasikan di Sumatera, Jakarta, atau Bandung misalnya. Ini kan butuh internet of thing, drone, dan segala macam. Tapi kan infrastrukturnya, mencari 3G di Lombok saja susah byar pet seperti begitu. Padahal tidak jauh dari Mandalika.
Kalau dilihat-lihat tower bersamanya saja tidak ada. Jaringan 3G saja susah apalagi 4G, bagaimana kita bisa mau menjadi seperti Amazon atau Alibaba. Belum. Masih jauh untuk itu semua. Ini baru tahap mimpi, tapi gak apa-apa mimpi dulu daripada enggak punya mimpi.
Ini digital bank dan bank digital kan berbeda katanya. Nah apakah dengan aturan baru bank digital ini peraturan bank-nya akan menjadi lebih soft?
Nah ini lebih hati-hati, kayak contohnya fintech itu kan peraturannya sangat loose. Sehingga kenapa kemarin terjadi kasus BPJS Kesehatan datanya. Bagaimana mencari data yang gampang, ke Dukcapil tidak bisa, BPJS Kesehatan yang menjadi sasaran. Ini kan kasusnya sampai sekarang tidak ketahuan.
Dibobol kan definisinya macam-macam. Dibobol dari pengertian ada orang membawa USB dan di-download semuanya ke dalam USB itu berarti bobolnya offline. Bobol dalam pengertian online ada 2 definisi, satu pakai metode phishing atau backdoor. Kalau phishing kan dimasukkan malware, tapi kalau ini yang terjadi kan ada peningkatan traffic pada waktu download atau upload. Itu kan gampang untuk penyelidikannya, cek di server-nya. Tapi kalau bukan phishing itu kan berarti pakai backdoor, artinya harus cek siapa yang bikin sistemnya. Kan gampang untuk lihatnya. Cuma masalahnya mau dibongkar atau enggak. Nah sekarang data-data itu larinya ke mana jangan-jangan ke China atau Singapura lagi.
Kalau bicara di pasar saham, bagaimana Anda melihat kondisi pasar saham sekarang ini, di mana emiten yang masuk kebanyakan kecil dan banyak menjadi ajang spekulasi?
IHSG naik turun itu bukan karena isu kalau menurut saya. IHSG itu kan baik turun kombinasi dari 3 faktor. Underlying earning seperti apa, kondisi likuiditasnya seperti apa, dan persepsi risikonya seperti apa, ketiganya bermain secara bersamaan.
Fakta bahwa IHSG gagal melulu tembus 6.500 itu kan artinya ada masalah besar dari ketiga faktor ini. Masalah likuiditas, persepsi risiko, dan masalah underlying earning, memang secara struktural corporate earning-nya tidak bisa naik.
Sementara likuiditasnya itu bukan di-drive oleh investor institusi, lebih banyak oleh investor ritel. Dan investor ritel ini kan bukan long term, mereka cuma mau cari untung saja, mau beli cepat jual cepat. Jadi artinya market ini stagnan di sini karena mungkin sebagian besar dari investor cuma mau tek-tok doang. Makanya IHSG di 5.500, 6.100, balik lagi. Ya tek-tok karena tek-tok semuanya, makanya likuiditasnya juga tek-tok.
Artinya masalah fundamental kan, bukan masalah teknis.
Tapi ada juga masalah persepsi risiko, karena ini menggambarkan perpindahan antara asset class, antara big cap-small cap, equity, bond, government dan corporate bond itu akan bergerak terus. Kenapa bergerak terus, karena market kita sangat sensitif, sangat fragile.
Perubahan dari DXY atau indeks dolar 2 basis poin indeks atau 5-6 basis poin US treasury, rupiah bisa bergerak 700 basis poin. Sensitif sekali rupiahnya. Kalau orangnya sensi itu kenapa? Biasanya gak pede atau insecure. Berarti kan kalau dilihat market kita tidak secure. Artinya masalah fundamental kan, bukan masalah teknis.
Sebagai investor kalau kita menempatkan portofolio sekarang ini di mana sebaiknya?
Semua investor yang kita ajak ngomong itu, yang dikasih nasihat itu kan ritel. Ya dikasih nasihat untuk long term juga gak mau dia. Jadi pertanyaan kamu mesti diubah, bukan investor mesti ngapain, karena jawabannya sudah pasti. Investor ritel buy low sell high saja, sudah jelas jawabannya.
Karena kalau misalnya saya bilang harus ke valuasinya begini di sektor begini karena ini begini-begitu, begini-begitu, itu kan untuk institusional investor. Dibilang wah kamu orang tua, saya enggak begitu, ya sudah buy low sell high saja sudah.
Market-nya volatile, ya buy low sell high. Jadi cari saja sudah saham-saham yang volatility paling tinggi, sudah itu saja. Jangan susah-susah cari valuasi. Cari saja saham yang paling volatile harganya.
Padahal kalau ngomong buy low sell high, kalau secara akademis atau aslinya ya, kan bukan IHSG turun beli, IHSG naik jual. Itu buy low sell high in term of price. Indeks harga saham kan harga. Yang diajarkan di investment kan bukan harga tapi valuasi. Buy when the valuation is low, sell when the valuation is high. Jadi kita bicara konsepnya PBV atau PER atau economic value. Bukan price, tapi value, valuation. Nah di sini jadinya price.
Yang paling baik adalah beli saja valuasi yang paling murah nanti jual saat valuasinya mulai naik. Itu best advice I can’t give, in this circumstance. Dua, jangan mendengarkan nabi palsu, seperti saya pernah ngomong. Yang ketiga kalau mau untung jangan main keroyokan.Kalau misalnya 1.000 orang masuk ke saham X, kamu ikutan dengan 1.000 orang itu. Itu kan begitu kamu masuknya agak terlambat yang 999 orang keluar kamu ketinggalan sendirian. Don’t play with the crowd. Make your own value judgment.
Kalau saya sih aset kelas untuk equity sudahlah big cap saja yang aman-aman saja. Big cap yang valuation jelas dan business governance-nya jelas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News