kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.759.000   14.000   0,80%
  • USD/IDR 16.529   -99,00   -0,60%
  • IDX 6.306   82,96   1,33%
  • KOMPAS100 903   6,86   0,76%
  • LQ45 711   2,20   0,31%
  • ISSI 198   3,96   2,04%
  • IDX30 372   1,42   0,38%
  • IDXHIDIV20 447   2,71   0,61%
  • IDX80 103   0,40   0,38%
  • IDXV30 108   0,77   0,72%
  • IDXQ30 122   0,59   0,49%

Ekonom Sebut Anjloknya IHSG Karena Rapuhnya Struktur Ekonomi dan Kebijakan Utang


Selasa, 18 Maret 2025 / 20:59 WIB
Ekonom Sebut Anjloknya IHSG Karena Rapuhnya Struktur Ekonomi dan Kebijakan Utang
ILUSTRASI. IHSG yang sempat anjlok hingga 6% pada perdagangan Selasa (18/3) memunculkan berbagai spekulasi di pasar. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nz


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat anjlok hingga 6% pada perdagangan Selasa (18/3) memunculkan berbagai spekulasi di pasar. Beberapa analis dan pengamat berpendapat anjloknya IHSG tersebut disebabkan oleh isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hingga tekanan ekonomi global.

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta menilai, faktor isu mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan, Perry Warjiyo dari jabatannya Gubernur BI, dan Airlangga Hartanto dari jabatan Menteri Perekonomian bukanlah faktor utama anjloknya IHSG.

"Sebagai ekonom saya berbeda dengan beberapa analis saham, bahwa jatuhnya IHSG karena faktor mundurnya satu dua pejabat adalah tidak tepat menurut saya. Kita punya persoalan utama yaitu rapuhnya struktur ekonomi Indonesia karena kebijakan utang luar negeri yang tidak prudent," ungkapnya, Selasa (18/3).

Baca Juga: Berikut Ini Faktor yang Membuat IHSG Longsor pada Perdagangan Selasa (18/3)

Menurutnya, menjadikan faktor eksternal atau figur politis sebagai kambing hitam justru mengalihkan perhatian dari akar masalah sebenarnya, yakni kerapuhan struktural ekonomi Indonesia yang diperparah oleh kebijakan populis jangka pendek bertumpu utang.

Achmad menilai, penurunan IHSG bukan sekadar refleksi ketidakpastian global, melainkan sinyal alarm bahwa model ekonomi Indonesia terlalu bergantung pada komoditas, minim inovasi, dan terjebak dalam siklus utang untuk membiayai program populis seperti program makan bergizi gratis (MBG), Bansos, subsidi listrik 50%.

"Jika pemerintah tidak segera menghentikan kebijakan serampangan ini, krisis kepercayaan investor akan semakin dalam, dan IHSG hanya menjadi awal dari rantai masalah yang lebih besar," ungkapnya.

Di sisi lain, Indonesia masih terjebak dalam paradigma ekonomi berbasis komoditas, di mana 35% penerimaan ekspor bergantung pada batu bara, CPO, dan nikel.

Pada kuartal I-2025, harga ketiga komoditas ini anjlok 10-15% akibat perlambatan permintaan global, langsung menggerus kinerja emiten sektor pertambangan yang mendominasi kapitalisasi pasar saham.

Saham seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) terkoreksi lebih dari 12% dalam sepekan, menunjukkan betapa rentannya IHSG terhadap fluktuasi harga komoditas. 

Menurut Achmad, masalahnya adalah diversifikasi ekonomi yang hampir tidak bergerak. Tercermin dari kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB stagnan di angka 19% sejak 2020, sementara industri pengolahan bernilai tambah tinggi, seperti elektronik atau otomotif masih tertinggal dari Vietnam dan Thailand.

"Alih-alih mendorong industrialisasi, pemerintah malah mengandalkan kebijakan larangan ekspor mentah (downstreaming) yang justru mematikan daya saing," ungkapnya.

Ia mencontohnya kasus larangan ekspor nikel tanpa disertai progres smelter yang masif, ini hanya menguntungkan segelintir konglomerat, sementara UMKM tambang tradisional kolaps. 

Baca Juga: Terseret Pelemahan DCII dan Saham Grup Prajogo Pangestu, IHSG Sempat Anjlok 7%

Tidak berhenti di situ, di tengah keterbatasan fiskal, ia menilai pemerintah terus mengambil risiko dengan menggenjot program populis seperti program MBG, subsidi energi, BLT, dan pembangunan infrastruktur megah seperti IKN yang tidak produktif.

Pada 2024, defisit APBN mencapai 2,8% dari PDB, dipicu oleh realisasi subsidi tidak tepat sasaran energi sebesar Rp 650 triliun dan anggaran bansos Rp 150 triliun.

Padahal, 70% dana subsidi dinikmati oleh 20% masyarakat kelas menengah atas, sementara infrastruktur seperti IKN dan bandara di daerah sepi justru menjadi beban pemeliharaan jangka panjang. 

"Yang lebih mengkhawatirkan, utang menjadi andalan untuk menutupi defisit," ungkapnya.

Utang pemerintah telah menembus Rp9.000 triliun pada 2025 (40% dari PDB), dengan pembayaran bunga utang mencapai Rp450 triliun per tahun—hampir menyamai anggaran pendidikan!

Kebijakan ini tidak hanya membebani keuangan negara, tetapi juga mengganggu kredibilitas fiskal di mata investor.

Tak heran, asing terus menarik dana dari pasar saham Indonesia, dengan arus keluar modal asing mencapai Rp10 triliun dalam sebulan terakhir. 

Belum lagi masalah adanya efek domino utang, mengingat tingkat bunga naik.  Akumulasi utang pemerintah telah memaksa Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan menjadi 5,75% dan ini level tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya pada Maret 2025 untuk mencegah pelarian modal dan menjaga imbal hasil obligasi.

Suku bunga level 5,75% termasuk cukup tinggi dan akhirnya menjadi bumerang bagi sektor riil dimana kredit investasi tumbuh hanya 5% yoy, jauh di bawah target 12%.

"Sektor UMKM paling menderita, dengan 60% pelaku mengeluh kesulitan mengakses pinjaman bank.  Utang juga mengalihkan alokasi APBN dari belanja produktif," ungkapnya.

Selanjutnya: Pertamina Patra Niaga Klaim Selalu Cek Kualitas BBM Sebelum Dijual Ke Pelanggan

Menarik Dibaca: Official Trailer dan Poster Penjagal Iblis: Dosa Turunan Dirilis, Tayang 30 April

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×