Reporter: Yuliana Hema | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 3,84% ke level 6.223,38 pada perdagangan Selasa (18/3). Posisi tersebut sudah lebih baik dari pada koreksi saat penutupan perdagangan sesi pertama.
Pada intraday perdagangan Selasa (18/3) pukul 11:55 WIB, IHSG anjlok 7,11% ke level 6.011,84. Jika dicermati, saham Grup Barito milik taipan Prajogo Pangestu menjadi pemberat koreksi IHSG.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) menjadi menggerus terbesasr bagi IHSG. Pada perdagangan kali ini, saham DCII melemah 20%.
Kemudian ada saham PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), masing-masing terkoreksi 18,42% dan 11,79%.
Baca Juga: IHSG Tumbang 3,84% ke 6.223 pada Selasa (18/3), Net Sell Asing Tembus Rp 2,49 Triliun
Saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) juga melemah 15,48% atau turun 120 poin posisi Rp 655 per saham.
Pengamat Pasar Modal Satrio Utomo mencermati, tujuh dari 20 saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI mempunyai valuasi tinggi atau Price Earning Ratio (PER) di atas 50 kali.
Dia bilang saat ini pergerakan IHSG terlalu semu, mengingat big caps yang menjadi penggerak IHSG bukan saham dengan fundamental yang kokoh dan memiliki valuasi yang wajar.
"Saat ini masih banyak saham yang sudah tergoreng dengan PER di atas 100 kali dan sekarang big caps tradisional ditransaksikan dengan valuasi murah," jelas Satrio kepada Kontan, Selasa (18/3).
Ambil contoh, DCII sebenarnya bukan saham yang aktif atau likuid diperdagangkan. Namun belakangan ini, saham konglomerat Toto Otto Sugiri ini menanjak tajam.
Apalagi DCII sekarang menempati posisi kesembilan sebagai emiten dengan market cap terbesar di BEI. Hingga akhir perdagangan Selasa (18/3), kapitalisasi pasar DCII sebesar Rp 240 triliun atau setara 2,26%.
"Efeknya kalau harga sudah terlalu tinggi dan emiten big caps kurang bagus, begitu ada masalah sedikit pasti harga saham turun dan membuat IHSG jeblok," ucap Satrio.
Berkaca dari kondisi tersebut, Satrio mengusulkan acuan indeks untuk bursa saham di Indonesia bisa diganti dengan indeks lain yang relevan dengan kondisi perekonomian Tanah Air seperti IDX30 atau LQ45.
"Saat ini investor akan mencari atau mengakumulasi saham dengan fundamental bagus. Misalnya saham perbankan yang pergerakannya sudah berada di posisi terendah atau bottom," tuturnya.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menambahkan, penyebab utama kejatuhan pasar saham disebabkan oleh merosotnya harga saham emiten overvalue di BEI.
Padahal, saham seperti DCII ataupun saham-saham dari Grup Barito menjadi penyanggah saat pasar saham tertekan akibat aksi jual di saham-saham perbankan.
"Jadi kenapa terasa sangat signifikan karena tidak ada yang menahan laju penurunan indeks dan menyebabkan panic selling," jelasnya.
Pengamat Pasar Modal Irwan Ariston menimpali, konsistensi penurunan IHSG beberapa bulan belakangan ini pada dasarnya sudah pasti 90% adalah masalah fundamental ekonomi makro Indonesia.
Dia mencermati, tampaknya ada unsur masalah kepercayaan pasar kepada kinerja pemerintah. Banyaknya kesalahan yang dilakukan pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
"Ini semakin menggerus kepercayaan pasar terhadap prospek Indonesia. Masyarakat mungkin bisa diberikan janji, tetapi pelaku pasar lebih melihat realitas yang terjadi.
Selanjutnya: Premi Risiko Investasi (CDS) Naik, Hati-Hati Rupiah Anjlok hingga Bunga Utang Bengkak
Menarik Dibaca: Official Trailer dan Poster Penjagal Iblis: Dosa Turunan Dirilis, Tayang 30 April
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News