Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skandal dugaan gratifikasi oleh oknum karyawan Bursa Efek Indonesia (BEI) akan sampai ke meja parlemen.
Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) akan segera memanggil otoritas pasar modal untuk mendalami kasus tersebut.
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mengatakan bahwa pihaknya sudah mengagendakan untuk menggelar rapat kerja (raker) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan September ini. Namun Puteri belum memastikan jadwal raker tersebut.
Baca Juga: BEI Tegaskan Skandal Dugaan Gratifikasi Tak Menghambat Proses IPO ke Depan
Puteri hanya menegaskan, agenda raker tersebut akan mendalami kasus dugaan gratifikasi. Secara bersamaan, Komisi XI DPR RI juga akan meminta pemaparan OJK mengenai perkembangan industri jasa keuangan sampai dengan triwulan ketiga 2024.
"Isu mengenai kasus ini tentu akan kami suarakan. Sehingga kami bisa mendapatkan klarifikasi langsung dari OJK termasuk untuk mendapatkan penjelasan mengenai upaya penindakan beserta langkah-langkah perbaikannya," kata Puteri kepada Kontan.co.id, Senin (2/9).
Sekadar mengingatkan, pada akhir bulan lalu pasar modal dikagetkan dengan pemecatan lima pegawai BEI pada periode Juli-Agustus 2024. Pemecatan itu diduga buntut dari pelanggaran yang dilakukan terkait permintaan imbalan dan gratifikasi terkait dengan proses penawaran umum perdana saham alias Initial Public Offering (IPO).
Dihubungi terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon - Anggota Dewan Komisioner OJK, Inarno Djajadi belum berkomentar mengenai raker yang akan digelar bersama Komisi XI DPR RI.
Baca Juga: Kualitas Saham IPO Tak Sebanding Kuantitasnya
Inarno menegaskan, OJK bersama BEI terus berkoordinasi untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
"Kami masih proses. Sudah koordinasi juga dengan bursa," kata Inarno.
Sementara itu, Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik memastikan dugaan skandal gratifikasi ini tidak mengganggu proses IPO yang sedang berlangsung. Sehingga tidak ada perubahan target jumlah emiten yang bakal IPO tahun ini, yakni sebanyak 62 perusahaan.
"Saya kira semuanya sedang berproses. Di OJK juga ada proses, di kami juga sudah ada proses. Yang dalam kewenangan kami adalah memberikan sanksi kepada karyawan kami, dan itu sudah dilakukan," ujar Jeffrey kepada media.
Founder & CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto melihat agenda raker otoritas pasar modal dengan Komisi XI DPR RI bisa menjadi momentum untuk mendalami dugaan gratifikasi dalam proses IPO. Hal ini penting lantaran jika dibiarkan, skandal ini dikhawatirkan akan mencoreng reputasi pasar saham Indonesia.
"Ada risiko reputasi yang besar dalam kasus ini. Harus menjadi momentum pembenahan (di OJK dan BEI) sehingga proses IPO jadi lebih baik. IPO adalah pintu gerbang, jadi yang tersaring ke pasar saham harus perusahaan-perusahaan yang bagus," kata Fendi kepada Kontan.co.id, Senin (2/9).
Baca Juga: Ada Dugaan Skandal Pengaturan IPO, BEI Enggan Beberkan Emiten yang Terlibat
Fendi menegaskan, BEI dan OJK perlu lebih governance dan selektif dalam menyaring saham-saham yang layak IPO. Dengan begitu, emiten yang diperdagangkan di bursa saham benar-benar yang punya fundamental kuat, prospek menarik dan komitmen menerapkan good corporate governance (GCG).
"Kalau perusahaan tidak layak atau belum siap IPO, ya jangan dipaksakan. Kalau calon emiten itu memang punya kualitas, prospeknya bagus, pasti akan menjalankan proses secara governance," imbuh Fendi.
Di sisi lain, Fendi mengatakan kasus dugaan gratifikasi ini juga layak menjadi pengingat BEI agar lebih mengutamakan kualitas dibanding kuantitas IPO.
Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy sepakat, jumlah emiten baru tidak selalu menjadi ukuran kinerja positif.
BEI dan OJK jangan sampai hanya kejar target jumlah IPO tahunan. Kasus ini perlu menjadi momentum untuk membenahi tata kelola pasar modal, sekaligus perbaikan dalam IPO agar calon emiten yang lolos hanya perusahaan yang layak secara fundamental dan GCG.
"Harapannya seperti itu. Perlu dikoreksi target jumlah emiten sebagai key performance indicator BEI atau OJK karena bisa mengorbankan kualitas dan fundamental perusahaan yang melantai di bursa," tandas Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News