Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) masih melanjutkan tren pelemahan di tengah sorotan tajam terhadap kebijakan Presiden Donald Trump. Ketidakpastian arah ekonomi AS dan kekhawatiran resesi membuat greenback kehilangan pamor.
Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana menyebut, pasar mulai merespons rilis data ekonomi yang lemah, termasuk survei sentimen konsumen, bisnis, dan ekspektasi inflasi.
"Data-data tersebut menunjukkan sinyal perlambatan ekonomi AS," ujar Fikri kepada Kontan.co.id, Rabu (5/6).
Baca Juga: Rupiah Menguat Terhadap Dolar AS Jelang Libur Panjang, Kamis (5/6)
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pun merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS menjadi 1,6% untuk 2025 dan 1,5% pada 2026, dari sebelumnya 2,2%.
Pelemahan ekonomi ini memicu ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed, ditambah kekhawatiran atas pelebaran defisit fiskal AS. Kombinasi keduanya kian menekan daya tarik dolar AS di mata investor global.
Indeks dolar (DXY), yang mencerminkan kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama, telah terperosok lebih dari 8% sejak awal tahun ke level 98,80 pada Kamis (5/6), menurut data Bloomberg.
Fikri menilai, kebijakan Trump yang cenderung agresif dalam perang dagang dan pemisahan modal global (capital war) justru memperparah tekanan terhadap dolar.
“Jika arah kebijakan Trump tak berubah, potensi pelemahan dolar bisa berlangsung sampai akhir masa jabatannya,” katanya.
Baca Juga: Rupiah Jisdor Menguat 0,17% ke level Rp 16.277 per Dolar AS pada Kamis (5/6)
Mata Uang Asia Menguat
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, pelemahan dolar AS membuat mata uang lain mencuri perhatian.
Krona Swedia (SEK) memimpin penguatan sebesar 13,25% secara year to date (ytd), disusul yen Jepang (JPY) 8,94%, dan dolar Taiwan (TWD) 8,72% ytd.
Namun Josua menilai, mata uang seperti SEK cukup volatil karena sangat terpapar siklus ekspor global. Di sisi lain, franc Swiss (CHF) dan euro (EUR) dianggap lebih stabil dan atraktif.
"CHF adalah aset safe haven dengan ketahanan kuat terhadap volatilitas. EUR juga kian dilirik sebagai alternatif kredibel terhadap USD, didukung fiskal ekspansif Eropa dan posisi net kreditur kawasan," paparnya.
JPY dan KRW Jadi Buruan
Mata uang Asia juga ikut menikmati sentimen pelemahan dolar. JPY mencatat penguatan tajam karena meningkatnya permintaan aset aman (safe haven) di tengah ketegangan tarif AS-China, ditambah ekspektasi bahwa Bank of Japan tidak akan agresif menaikkan suku bunga.
Sementara won Korea (KRW) diuntungkan dari stabilitas politik domestik pasca pemilu serta prospek capital inflow ke pasar obligasi Korea.
“Spread imbal hasil yang menarik serta potensi penguatan nilai tukar jadi daya tarik KRW,” ujar Josua.
Secara umum, bank sentral di Asia diperkirakan akan menurunkan suku bunga demi mendorong pemulihan ekonomi, yang akan memperkuat mata uang masing-masing.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Menguat Tipis ke Rp 16.284 per Dolar AS pada Kamis (5/6)
Strategi Lindung Nilai
Untuk strategi investasi, Josua menyarankan posisi defensif dalam jangka pendek dengan memilih CHF dan EUR.
Untuk horizon menengah hingga panjang, mata uang Asia seperti JPY, KRW, dan SGD dinilai menjanjikan seiring reorientasi portofolio global menjauh dari dolar.
“Strategi bijak saat ini adalah sell USD on rallies, sambil melakukan diversifikasi pairing USD dengan mata uang kuat seperti EUR, CHF, dan GBP,” sebut Josua.
Investor juga bisa memanfaatkan momentum buy the dip pada JPY atau KRW. Namun sebaiknya menghindari eksposur berlebihan terhadap dolar Australia (AUD) atau yuan China (CNY), karena keduanya masih dibayangi tekanan dari kebijakan proteksionis dan lemahnya permintaan global.
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong menyarankan pendekatan yang sederhana namun strategis.
“Jauhi dolar AS dan alokasikan portofolio ke mata uang utama serta negara berkembang, dengan porsi besar pada CHF dan JPY,” kata Lukman.
Fikri menambahkan, investor juga bisa mempertimbangkan untuk memendekkan horizon investasi guna mengantisipasi gejolak kebijakan Trump ke depan.
Selanjutnya: US Stocks Heal from Tariff Pain But Trade News to Keep Markets Edgy
Menarik Dibaca: Stok Beras RI 4 Juta Ton, Pengamat: Genjot Produksi Dalam Negeri Sebelum Ekspor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News