Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Dolar Amerika Serikat (AS) mencapai level terendah dalam 14 bulan terhadap euro pada hari Rabu (25/9). Para pedagang memperkirakan The Fed akan melakukan pemotongan suku bunga besar lainnya pada pertemuan November mendatang, di tengah melemahnya optimisme pasar tenaga kerja.
Sementara itu, yuan China melemah di tengah keraguan akan efektivitas stimulus baru yang diumumkan oleh China.
Euro terakhir naik 0,04% menjadi US$1,1185 dan mencapai US$1,1214, tertinggi sejak Juli 2023.
Indeks dolar AS naik 0,25% menjadi 100,48 setelah sebelumnya jatuh ke 100,21, level terendah sejak September 2023.
Baca Juga: Rupiah Diproyeksi Menguat pada Kamis (26/9), Pasar Menanti Pidato Powell
Dolar AS juga menguat 0,69% terhadap yen Jepang, mencapai 144,2 yen.
Sebelumnya, dolar AS melemah pada Selasa (24/9) setelah data menunjukkan penurunan kepercayaan konsumen AS terbesar dalam tiga tahun terakhir di bulan September, di tengah kekhawatiran meningkat atas pasar tenaga kerja.
“Penyempitan diferensial di pasar tenaga kerja, yang menunjukkan kondisi permintaan dan penawaran di pasar pekerjaan, menjadi pertanda buruk bagi ekonomi AS,” kata Karl Schamotta, Chief Market Strategist di Corpay, Toronto.
“Pasar menginterpretasikan hal ini sebagai tanda bahwa The Fed sangat mungkin akan memberikan pemotongan suku bunga darurat kedua pada pertemuan November,” tambahnya.
Baca Juga: Perkasa, Rupiah Spot Ditutup Menguat 0,56% ke Rp 15.102 Per Dolar AS, Rabu (25/9)
Pedagang kini memperkirakan 59% peluang pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pertemuan Fed 7 November, naik dari 37% minggu lalu, dan peluang 41% untuk pemotongan sebesar 25 basis poin, menurut FedWatch Tool dari CME Group.
Pekan lalu, The Fed memulai serangkaian pemotongan suku bunga yang diantisipasi dengan pengurangan setengah persen yang lebih besar dari biasanya.
Di mana menurut Ketua The Fed Jerome Powell dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen para pembuat kebijakan dalam mempertahankan tingkat pengangguran rendah setelah inflasi mereda.
Di tempat lain, stimulus dari China turut memperkuat euro, dengan ketahanan mata uang ini sebagian besar didorong oleh persepsi bahwa prospek permintaan yang lebih baik dari China dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Jerman dan Eropa, kata Jane Foley, Senior Forex Strategist di Rabobank.
Meskipun data ekonomi Jerman lemah dan ada kekhawatiran terkait anggaran Prancis, euro bertahan "sangat baik" terhadap dolar minggu ini, tambahnya.
Yuan China, yang sempat menguat, kembali melemah sehari setelah bank sentral China meluncurkan stimulus terbesar sejak pandemi untuk menarik ekonominya dari deflasi dan mendekati target pertumbuhan pemerintah.
Baca Juga: Rupiah Jisdor Menguat 0,62% ke Rp 15.092 Per Dolar AS, Rabu (25/9)
Dolar AS terakhir naik 0,25% menjadi 7,028 yuan dalam perdagangan luar negeri. Yuan sebelumnya mencapai 6,9952, level terkuat sejak Mei 2023.
Mata uang berisiko lainnya, termasuk dari pasar negara berkembang, yang sebelumnya menguat karena stimulus, juga mengalami pelemahan.
“Kami melihat sejumlah kelas aset yang sensitif terhadap risiko pada dasarnya mengalami retraksi setelah stimulus tersebut, karena keraguan investor terhadap kemampuan langkah-langkah tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nyata,” kata Schamotta.
Dolar Australia, yang sering dipandang sebagai proxy likuid untuk yuan, juga turun karena meredanya inflasi di negara tersebut.
Harga konsumen domestik Australia melambat ke level terendah tiga tahun pada Agustus, sementara inflasi inti mencapai titik terendah sejak awal 2022.
Aussie terakhir turun 0,39% menjadi US$0,6864 setelah sebelumnya mencapai US$0,6908, tertinggi sejak Februari 2023.
Dalam cryptocurrency, bitcoin turun 0,73% menjadi US$63.758.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News