Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Dolar AS menguat tipis pada Rabu (16/4), setelah melewati tekanan jual selama beberapa pekan terakhir. Investor mengambil jeda sambil menantikan perkembangan lebih lanjut dalam negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya.
Data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal I China serta serangkaian indikator ekonomi Maret akan dirilis hari ini. Namun, data tersebut bersifat retrospektif.
Baca Juga: Robert Kiyosaki: Orang Kaya Tidak Bergantung pada Dolar Melainkan Emas!
Sementara itu, perhatian pasar juga tertuju pada pidato Ketua The Fed Jerome Powell, serta keputusan suku bunga dari Bank of Canada, yang menurut pasar memiliki kemungkinan pemangkasan sekitar 40%.
Dolar Kanada stabil di level C$1.3948 per dolar AS, mencatat penguatan sekitar 4% sepanjang April.
Ini mencerminkan bagaimana investor telah menghukum greenback secara signifikan karena kebijakan perdagangan AS yang memicu ketidakpastian pasar.
Euro, yang pekan lalu sempat menyentuh level tertinggi dalam tiga tahun di US$1.1474, kini terkoreksi ke US$1.1311 pada sesi Asia.
Sepanjang bulan ini, euro telah naik lebih dari 4,5%. Namun, penyesuaian teknikal dan lambatnya kemajuan dalam kesepakatan perdagangan membatasi penguatan lebih lanjut.
Baca Juga: Emas Bersinar Lagi! Ketegangan Tarif & Dolar Loyo Jadi Pendorong
Pound sterling justru mencuri perhatian dengan menembus level tertinggi enam bulan di US$1.3254.
Inggris menjadi salah satu negara yang terhindar dari tarif paling keras oleh AS. Wakil Presiden AS JD Vance bahkan menyebutkan bahwa peluang kesepakatan dagang dengan Inggris cukup besar.
“Presiden sangat mencintai Inggris,” kata Vance.
“Dia sangat menghormati Ratu, dan ia juga mengagumi Raja.”
Pasar menantikan rilis data inflasi (CPI) Inggris pada hari ini.
Baca Juga: Dolar AS Kehilangan Kepercayaan, Yen Jadi Pilihan
Sementara itu, yen Jepang stabil di level 142,85 per dolar, dan indeks dolar AS sempat menembus angka 100 sebelum kembali bertengger di sekitar 99,899 pada sesi perdagangan Asia.
Franc Swiss, yang mencatat penguatan tertinggi di antara mata uang negara-negara G10 sejak pengumuman tarif besar-besaran oleh Trump, juga menguat menjadi 0.8184 per dolar.
Dolar Australia dan dolar Selandia Baru, yang pekan lalu mencatat lonjakan mingguan terbesar sejak 2020, sedikit terkoreksi ke US$0.6334 dan US$0.5896.
Fokus investor saat ini tertuju pada pasar obligasi dan yuan Tiongkok, di mana pemerintah China belum secara signifikan melemahkan kisaran perdagangan mata uangnya meskipun ada tekanan dari gelombang tarif AS.
Baca Juga: Pamor Dolar Redup, Robert Kiyosaki Sebut Beli Emas Sekarang!
Jika terjadi depresiasi tajam pada yuan, itu bisa menjadi pendorong luas bagi penguatan dolar AS.
Pasar Treasury AS, yang minggu lalu sempat diguncang aksi jual panik, menunjukkan tanda-tanda stabilisasi.
Hubungan erat antara imbal hasil obligasi dan dolar kini menjadi perhatian pelaku pasar.
“Kami pikir kembalinya korelasi antara imbal hasil Treasury AS yang lebih tinggi dan penguatan dolar akan menjadi sinyal utama dari normalisasi,” kata Steve Englander, Kepala Riset Valas G10 di Standard Chartered.
“Jika pesimisme pertumbuhan mulai mereda dan tarif tak lagi jadi isu utama, dolar bisa kembali mendapatkan dukungan.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News