Reporter: Arvin Nugroho | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tagline cash is the king kembali menggaung sepanjang kuartal I-2020 kemarin. Pasalnya, di tengah persebaran pandemi virus corona, instrumen investasi berbasis mata uang berhasil mencatatkan kinerja paling moncer dibanding instrumen lainnya.
Tak tanggung-tanggung, tiga posisi teratas imbal hasil tertinggi dipegang oleh instrumen investasi berbasis mata uang. Mata uang tersebut di antaranya adalah dolar Amerika Serikat (AS) yang berhasil bercokol dengan return tertinggi. Tercatat dolar AS menghasilkan imbal hasil sebesar 17,62%.
Baca Juga: BI belum ada rencana mewajibkan konversi hasil devisa ekspor ke rupiah
Kemudian disusul oleh Euro dan dolar Singapura di peringkat kedua dan ketiga. Euro berhasil mencatatkan pertumbuhan sebesar 15,12% sepanjang kuartal I-2020 kemarin. Sedangkan dolar Singapura tumbuh 11,22% sepanjang tiga bulan tersebut.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menuturkan, segala yang terjadi sepanjang kuartal I-2020 disebutnya sebagai hal yang “gila”.
Ia menyebut, volatilitas liar sepanjang kuartal ini terjadi imbas dari pandemi virus corona dan jatuhnya harga minyak dunia.
Baca Juga: Raih pendanaan US$ 17 juta, TaniHub Grup perkuat posisi pasar market leader
“Ini membuat imbal hasil US Treasury tenggelam ke rekor terendah, dan pasar ekuitas global utama akhirnya memasuki pasar uang,” ujar Sutopo kepada Kontan.co.id, Kamis (2/4).
Hal senada juga diungkapkan oleh analis Monex Investindo Futures Faisyal. Menurutnya sepanjang kuartal I-2020 ini banyak investor yang mengalami kerugian imbas pandemi virus corona.
Baca Juga: Selepas siang, harga emas spot masih memudar di US$ 1.586,80 per ons troi
“Saat ini, pasar tengah membutuhkan uang tunai untuk menutup aset investasi yang mengalami kerugian, contohnya saham. Alhasil dolar AS sebagai mata uang paling likuid menjadi mata uang yang paling diburu,” ungkap Faisyal.
Sutopo juga menambahkan, secara struktural dolar AS juga merupakan mata uang yang tangguh. Hal ini dikarenakan The Feds memiliki bantalan kebijakan moneter yang lebih besar dibandingkan rekan-rekan G10 lainnya.
“Oleh karena itu, dolar AS tetap menjadi mata uang paling likuid di masa-masa kekacauan ini,” pungkas Sutopo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News