Reporter: Aris Nurjani | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja reksadana pendapatan tetap diproyeksi tetap baik karena ditopang fundamental ekonomi yang solid dan stabilitas.
Berdasarkan data dari Infovesta Utama pada 1 September 2022, kinerja reksadana pendapatan tetap yang tercermin dari Infovesta 90 Fixed Income Fund Index hanya catatkan pertumbuhan 0,50% sejak awal tahun atau year to date (YtD) dan naik 0,57% secara bulanan (MoM).
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo mengatakan secara kepemilikan SBN oleh institusi lokal, seperti Asuransi dan Dana Pensiun cenderung meningkat karena investor memanfaatkan momentum tren kenaikan yield SBN tenor 10 tahun di tengah ekspektasi kenaikan suku bunga.
Berdasarkan data rata-rata, yield tenor pendek (<10 tahun) berada sekitar 6,44% dan tenor panjang (>10 tahun) di sekitar 7,23%.
Baca Juga: Prospek Reksadana Pendapatan Tetap di Tengah Tren Kenaikan Suku Bunga
"Prospek pasar SBN masih baik karena ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid dan stabilitas kurs rupiah. Pelemahan di pasar SBN akibat sentimen tekanan inflasi dinilai cukup wajar di tengah akselerasi ekonomi pasca pandemi dan tingginya harga komoditas global," ujar Praska kepada Kontan.co.id, Minggu (18/9).
Di tengah ancaman efek negatif tekanan inflasi yang tinggi dan potensi kenaikan suku bunga acuan, terlebih The Fed diperkirakan masih akan agresif menaikan suku bunga acuan, maka Manajer Investasi bisa mulai berorientasi pada tenor pendek menengah untuk menghindari fluktuasi pasar.
Tak hanya itu, Manajer Investasi juga perlu mempertimbangkan SBN yang likuid agar dapat melakukan trading / market timing untuk mendongkrak kinerja pengelolaan investasi reksadana pendapatan tetap yang tereksposur pada SBN.
Baca Juga: Jurus Danareksa Investment Dongkrak Kinerja Reksadana Pendapatan Tetap
Namun, jika pasar SBN sudah relatif tertekan, misal yield SBN 10 tahun menyentuh 8%, maka investasi di SBN tenor panjang dapat menjadi alternatif yang menarik.
Menurut Praska Manajer Investasi perlu mempertimbangkan kualitas emiten penerbit, baik secara prospek bisnis emiten, kondisi stabilitas arus kas jangka panjang, hingga rasio-rasio keuangan serta analisis penilaian solvabilitas secara historis dan proyeksi agar memastikan obligasi yang dimiliki relatif aman dari potensi risiko gagal bayar.
Pertimbangkan obligasi korporasi yang likuid juga bisa menjadi alternatif agar dapat melakukan rotasi ke seri obligasi lain yang lebih memberikan peluang yield lebih tinggi.
Praska mengatakan ideal untuk kondisi saat ini, lebih ke tenor pendek menengah (maksimal 10 tahun) untuk menghindari risiko fluktuasi jangka pendek.
Namun, jika tekanan/era kenaikan suku bunga acuan mulai mereda / diperkirakan mereda, maka investor dapat beralih ke tenor panjang (di atas 10 tahun).
Praska mengatakan sentimen yang dapat mendukung adalah jika potensi kenaikan suku bunga acuan mulai terbatas serta laju kenaikan inflasi melandai.
Baca Juga: Kinerja Reksadana Pendapatan Tetap Naik, Begini Saran Dari MI
Sementara sentimen yang menghambat adalah jika inflasi terus bertahan di level tinggi, kenaikan suku bunga acuan di negara-negara maju, seperti AS dan Uni Eropa berlanjut, sehingga dapat berdampak ke negara-negara berkembang.
Investasi reksa dana lebih berorientasi ke jangka menengah panjang, khususnya pada jenis Pendapatan Tetap, Campuran, hingga Saham.
"Jadi, saat pasar terkoreksi, investor disarankan melakukan akumulasi agar dapat menikmati momentum saat pasar kembali bergerak naik," ujarnya
Praska menambahkan strategi averaging dapat menjadi cara alternatif investor yang ingin mengikuti arah pergerakan pasar, namun lebih disarankan memberikan penempatan nilai investasi yg lebih besar saat pasar terkoreksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News