Reporter: Riska Rahman | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Walau sempat diterjang sentimen negatif dari Eropa, harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) kini sudah mulai bangkit. Hal ini tentu menjadi sentimen positif bagi saham-saham perkebunan CPO.
Januari lalu, Parlemen Uni Eropa sepakat untuk menghentikan penggunaan CPO sebagai bahan bakar pada 2021. Hal ini memang sempat menjadi pukulan bagi industri sawit dunia. Namun, salah satu perusahaan CPO terbesar dunia, Sime Darby Plantation, menyatakan bahwa pelarangan tersebut tak akan mengganggu permintaan CPO dunia.
Pernyataan ini jelas bisa jadi sentimen positif bagi saham perkebunan. Meski begitu, Vice President Research Artha Sekuritas Indonesia Frederik Rasali melihat hal tersebut belum bisa memberikan dorongan bagi saham perkebunan, beberapa di antaranya seperti PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS).
Pasalnya, beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan India baru saja mengeluarkan aturan yang menghambat ekspor CPO para emiten perkebunan. "AS baru mencanangkan kebijakan anti-dumping untuk impor biodiesel dari Indonesia, sementara India juga baru menaikkan pajak impor CPO menjadi 44%," ujar Frederik kepada Kontan.co.id, Jumat (2/3).
Di sisi lain, data Stockbit mencatat, selama 10 tahun terakhir indeks sektor perkebunan di Bursa Efek Indonesia (BEI) hampir selalu mengalami penguatan di bulan Maret. Indeks ini hanya pernah melemah sekali pada Maret 2013 sebesar 0,75%. Sepanjang tahun ini pun, sektor ini telah mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yaitu sebesar 7,31% year-to-date (ytd).
Namun, Frederik melihat siklus kenaikan di bulan Maret serta pertumbuhan sektor perkebunan selama tahun 2018 ini jadi alasan mengapa sektor ini patut dilirik di tahun ini. "Kenaikan saham di bulan Maret tak memiliki hubungan dengan bisnis emiten CPO yang biasanya mengalami peningkatan kinerja di semester kedua tiap tahun, bersamaan dengan waktu panen," ujarnya.
Adapun pertumbuhan tinggi yang dicapai emiten CPO selama tahun ini terjadi bukan murni disebabkan oleh kinerja mereka yang membaik. Harga CPO yang membaik dari bulan Desember 2017 membuat saham CPO jadi pendorong harga saham emiten CPO di awal tahun. Peningkatan signifikan pun terjadi pada 1 Maret 2018 lalu ketika Indonesia berhasil memenangkan sengketa terhadap Eropa yang telah diputuskan oleh WTO.
Belum lagi, pasar saham dalam negeri juga sedang mengalami rally di awal tahun. "Hal ini membuat sektor-sektor yang secara fundamental mengalami peningkatan, seperti sektor komoditas dan CPO, jadi lebih cepat untuk tumbuh," ungkap Frederik.
Ia pun ragu pertumbuhan pesat sektor CPO bisa bertahan di tahun ini. Walaupun pemerintah sedang merancang aturan moratorium izin perkebunan sawit yang berpotensi menghalangi oversupply, hal ini belum dianggap belum bisa mendorong saham sektor CPO. Sebab, sentimen negatif yang datang dari negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia masih membayangi saham-saham perkebunan di BEI.
Lantaran hal tersebut, Frederik melihat saham-saham sektor CPO masih akan terkoreksi dulu untuk sementara waktu sebelum dapat dikoleksi kembali. Untuk itu, ia masih bersikap netral terhadap sektor ini dan belum memberikan rekomendasi saham sektor CPO yang menarik untuk dikoleksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News