Reporter: Nadya Zahira | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) diprediksi masih tumbuh positif di tahun 2024. Hal ini didukung oleh penjualan logam mulia Antam yang masih tinggi dan berpotensi menguat. Meskipun kinerja keuangan mengalami tekanan pada kuartal I-2024. Pasalnya, penjualan dan laba bersih emiten pelat merah ini melorot.
Melansir laporan keuangan per 31 Maret 2024, Antam mengantongi penjualan sebesar Rp 8,62 triliun di kuartal I-2024. Angka tersebut turun 25,64% secara tahunan atau Year on Year (YoY) dari Rp 11,59 triliun.
Selain itu, beban pokok penjualan ANTM juga ikut merosot 4,27% YoY menjadi Rp 8,37 triliun di kuartal I-2024. Pada periode yang sama di 2023, beban pokok penjualan Antam mencapai Rp 8,74 triliun.
Baca Juga: Aneka Tambang (ANTM) Pastikan Keaslian dan Kemurnian Produk Emas Logam Mulia
Namun Antam sejatinya menanggung rugi usaha sebesar Rp 481,18 miliar selama periode Januari–Maret 2024. Ini berbalik dari laba usaha senilai Rp 1,911 triliun pada Januari–Maret 2023.
Tekanan datang dari beban umum dan administrasi yang mencapai Rp 656,31 miliar sepanjang tiga bulan pertama di 2024. Kemudian beban penjualan dan pemasaran senilai Rp 85,62 miliar.
Meski begitu, bottom line Antam masih mencetak laba. Di kuartal I-2024, laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk mencapai Rp 238,37 miliar atau anjlok 85,67% YoY.
Capaian laba bersih itu utamanya mendapatkan bantuan dari penghasilan keuangan yang melonjak 375,11% YoY menjadi Rp 131,04 miliar dan penghasilan lain-lain bersih senilai Rp 303,36 miliar.
Baca Juga: Harga Emas Berpotensi Bullish, Begini Rekomendasi Saham Aneka Tambang (ANTM)
Di sisi lain, Analis BRI Danareksa Sekuritas, Timothy Wijaya mengatakan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam berharap persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dapat terwujud pada bulan Juli untuk tambang nikel PT Sumber Daya Arindo (SDA) dan PT Nusa Karya Arindo (NKA).
Hal itu seiring keluarnya PP No 25 pada akhir Mei 2024, yang memperbolehkan pemegang konsesi untuk beroperasi, jika memiliki kepemilikan minimal 30% dalam kegiatan hilir. SDA dan NKA seharusnya memenuhi syarat karena mayoritas dimiliki Antam dan anggota MIND ID tersebut memegang 40% saham PT Feni Haltim (FHT) serta 30% di HPAL JVco.
“Manajemen Antam optimistis persetujuan RKAB untuk SDA dan NKA bisa terealisasi pada bulan Juli. Dengan begitu, kami memperkirakan Antam dapat mencatatkan penjualan sebanyak 13-14 wmt pada 2024 dibandingkan asumsi dasar kami yang sebesar 12 wmt,” tulis analis BRI Danareksa Sekuritas, Timothy Wijaya dalam risetnya, 7 Juni 2024.
Sementara itu, Antam dan Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co Ltd (CBL), bagian dari Grup CATL, tengah menjajaki pembiayaan utang untuk smelter RKEF FHT sebelum melanjutkan pekerjaan EPC pada kuartal I-2025, konstruksi pada pertengahan tahun 2025, dan diharapkan beroperasi pada awal 2027.
Untuk diketahui, emiten berkode saham ANTM tersebut memperoleh dana Rp 7 triliun dari hasil spin-off SDA dan FHT, yang akan digunakan untuk suntikan modal FHT dan HPAL JVco.
ANTM juga berharap ada penyewa di kawasan industri FHT untuk mengembangkan coal fired power plant (CFPP) guna memasok listrik FHT, HPAL JVco, serta smelter feronikel (FeNi) P3FH milik ANTM.
Baca Juga: Aneka Tambang (ANTM) Targetkan Kenaikan Penjualan Komoditas Inti Tahun Ini
Tak hanya itu, Timothy menyebutkan bahwa ANTM juga ingin mengurangi biaya energi di dua smelter FeNi miliknya dengan beralih ke sumber daya yang lebih murah. Smelter FeNi di Pomalaa akan beralih ke jaringan PLN mulai Oktober. Ini akan berdampak pada penurunan biaya listrik sebesar 40% menjadi Rp 990/kWh.
“ANTM ingin mengurangi biaya energi di dua smelter FeNi miliknya dengan beralih ke sumber daya yang lebih murah. Smelter FeNi di Pomalaa akan beralih ke jaringan PLN mulai Oktober. Ini akan berdampak pada penurunan biaya listrik sebesar 40% menjadi Rp 990/kWh,” imbuhnya.
Sedangkan smelter FeNi P3FH bakal menggunakan tenaga diesel dari Pomalaa, sebelum akhirnya beralih ke CFPP di kawasan industri FHT. Itu akan mengurangi biaya secara signifikan dari Rp 2.000/kWh menjadi Rp 1.100/kWh.
“Jika peralihan sumber daya listrik berjalan lancar, ANTM akan menurunkan biaya tunai secara signifikan menjadi US$ 11.000/ton dari sebelumnya US$ 12.000-12.500/ton,” ungkap Timothy.
Selaras dengan hal ini, Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia melihat, secara prospek kinerja ANTM ke depannya masih cukup berpotensi menguat. Hal ini didukung oleh pertumbuhan kinerja operasional pada komoditas utamanya.
Baca Juga: Budi Said Mohonkan PKPU Terhadap Aneka Tambang (ANTM), Ini Kata Ekonom
“Sementara di produk feronikel, ANTM kami lihat menargetkan volume produksi dan penjualan di tahun ini masing-masing sebesar 22.464 ton nikel dalam feronikel (TNi) atau tumbuh 5% secara yoy,” kata Miftahul kepada Kontan.co.id, Kamis (13/6).
Menurut dia, peningkatan tersebut juga turut di dorong oleh penyerapan produk feronikel di pasar global, kondisi pasar, serta tingkat utilisasi dan kestabilan operasi pabrik feronikel ANTAM di Kolaka, Sulawesi Tenggara.
“Selain dari segmen nikel, kami kira segmen bisnis lainya seperti emas, bauksit juga masih berpotensi meraih kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” ujarnya.
Di sisi lain, Miftahul mengatakan, adanya volatilitas saham ANTM pada awal tahun salah satunya dipengaruhi oleh tensi atau gejolak politik yang memanas, di mana konflik ini membuat harga komoditas global juga turut bergejolak. Sebut saja, harga nikel dan emas global yang terus mengalami penguatan harga di awal tahun ini.
Dia menuturkan, meskipun segmen bisnis nikel dan emas masih cenderung menguat, tetapi ketidakpastian geopolitik global serta volatilitas harga komoditas masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar saat ini.
Sementara itu, Equity Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rizkia Darmawan juga mengatakan bahwa kinerja ANTM di tahun ini masih positif karena didukung oleh penjualan logas mulia yang cukup tinggi. Selain itu, harga emas Antam juga terus naik karena mengikuti harga emas dunia yang masih stabil di atas US$ 2.300 per ons troi.
“Seperti yang kita ketahui, ketidakpastin global membuat investor lebih cenderung memilih emas sebagai aset safe heaven.Yang artinya juga ada tendensi untuk membeli logam mulia termasuk salah satunya emas Antam,” kata Rizkia kepada Kontan.co.id, Kamis (13/6).
Sedangkan untuk kinerja bisnis nikel Antam di tahun ini, Rizkia mengatakan, masih konservatif dan berhati hati karena kinerjanya bergantung terhadap keputusan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang akan diputuskan oleh pemerintah.
Baca Juga: Intip Realisasi Kinerja Operasional Aneka Tambang (ANTM) di Tahun 2023
“Kemudian, kami juga melihat adanya fluktuasi harga nikel. Karena harga nikel sempat turun balik ke level US$ 20.000, dan saat ini membuka level 17.000. Jadi kita masih pantau dari segmen harga nikel nya,” imbuhnya.
Namun, Rizkia memprediksi, khusu untik di kuartal kedua 2024 ini, kinerja bisnis nikel milik ANTM masih berpotensi untuk tumbuh positif, karena adanya perbaikan atau pertumbuhan kinerja dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Selain itu, menurutnya, penurunan harga saham yang terjadi sebulan terakhir ini, karena dipengaruhi oleh harga nikel yang berfluktuasi dan terus turun dalam sepekan. Kemudian, adanya isu negatif terkait peredaraan emas palsu yang dijual oleh Antam. Namun, hal ini tidak benar dan sudah diklarifikasi oleh pihak Antam.
Baca Juga: Laba Bersih Aneka Tambang (ANTM) Q1 2024 Turun 85%, Produksi Emas Anjlok 45 Persen
Rizkia pun merekomendasikan Buy untuk ANTM dengan target harga Rp 1.500 - Rp 2.000 per saham. Sedangkan Miftahul merekomendasikan Trading Buy dengan target harga Rp 1.320 per saham.
Sementara Timothy juga merekomendasikan Buy untuk ANTM dengan target harga sebesar Rp 2.000 per saham. Target harga tersebut mencerminkan PE 2024 sebesar 16,6 kali, setara forward PE standard deviation band -0,5 kali. Adapun risiko utamanya jika harga nikel turun, tingkat utilitas yang lebih rendah, dan penundaan pelaksanaan proyek.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News