Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yield SUN 10 tahun Indonesia kembali ke level 7%. Surat Berharga Negara (SBN) ritel dinilai memiliki prospek yang lebih menarik dibandingkan beberapa instrumen investasi di Indonesia.
Berdasarkan Trading Economics, yield SUN 10 tahun berada di level 7%, naik 0,22% dalam sepekan pada Senin (3/3) pukul 17.35 WIB.
Kepala Divisi Riset Ekonomi Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto menilai beberapa waktu terakhir ini, memang asing keluar dari pasar SBN domestik karena sentimen negatif dari eksternal yang begitu tinggi. Ini diakibatkan tingginya kebijakan Trump yang menimbulkan ketidakpastian ekonomi.
Trump yang mengenakan tarif pada beberapa negara mitra dagang utamanya, dikhawatirkan akan memicu aksi retalisasi dari negara-negara tersebut. Menurutnya, jika kemudian hal tersebut terjadi dan perang dagang mengalami eskalasi, maka hal ini akan berdampak buruk pada perekonomian global.
"Akibatnya, investor asing cenderung keluar dari pasar negara berkembang, termasuk dari Indonesia, dan merealokasikan asetnya ke instrumen yang dinilai relatif lebih aman," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (3/3).
Baca Juga: Penerbitan SBN Perumahan Berisiko dan Tidak Mendesak, Ekonom Ungkap Penyebabnya
Meski begitu, tekanan di pasar surat utang dalam negeri tidaklah sebesar yang melanda di pasar saham. Mengutip data dari Bank Indonesia, selama Senin-Kamis pekan lalu (24-27 Februari 2025), investor asing tercatat melakukan jual asing sebesar Rp 10,33 triliun.
Dari nilai tersebut, Rp 7,31 triliun terjadi di pasar saham, sementara di pasar SBN hanya Rp 1,24 triliun, dan Rp 1,78 triliun di pasar SRBI.
"Dari kondisi tersebut, dapat terlihat bahwa dalam kondisi sentimen eksternal yang relatif kurang baik dan kondisi pasar yang sedang volatile, pasar SBN relatif memiliki ketahanan yang baik," terangnya.
Selain itu, instrumen SBN juga relatif lebih aman dari saham. Sebab, SBN merupakan salah satu risk free asset karena dijamin oleh negara.
"Oleh karena itu, instrumen ini masih relatif aman dan memiliki resiliensi yang relatif baik ditengah ketidakpastian yang tinggi seperti saat ini," sambungnya.
Baca Juga: Rencana Pembelian SBN oleh BI Berisiko Terhadap Independensi dan Stabilitas Ekonomi
Dengan demikian, ia menilai prospek SBN ritel masih dalam kondisi yang baik. Apalagi, hal tersebut didasarkan pada perilaku dari investor ritel itu sendiri yang relatif kurang reaktif dibandingkan dengan investor asing dalam menghadapi sentimen negatif yang muncul sewaktu-waktu dengan kecenderungan hold to maturity dan menikmati kupon yang dihasilkan.
Selain itu dibandingkan dengan instrumen yang relatif aman lainnya seperti deposito dan emas, imbal hasil dari kupon yang diberikan oleh SBN masih relatif lebih menarik.
Emas, meskipun mengalami kenaikan harga, namun tidak memberikan pemasukan regular seperti kupon. Sementara jika dibandingkan dengan instrumen investasi yang memberikan imbal hasil regular seperti deposito, imbal hasil yang ditawarkan oleh SBN masih relatif tinggi.
"Sehingga, saya masih melihat bahwa daya tarik dari instrumen SBN ritel masih lebih menarik dibanding instrumen investasi lainnya, terutama di kondisi saat ini," tutupnya.
Selanjutnya: Klaim Asuransi Kesehatan Tumbuh 16,4% Sepanjang 2024, Begini Kondisi Sejumlah Pemain
Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (4/3): Berawan dan Hujan Ringan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News