Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kupon dari Surat Berharga Negara (SBN) ritel diperkirakan turun di tahun 2025. Namun, kupon SBN dianggap tetap menarik karena penurunannya cenderung kaku.
Kepala Divisi Riset Pefindo Suhindarto memproyeksikan, rata-rata kupon SBN ritel di tahun depan berkisar antara 5,7% - 6%, meski juga tergantung dari tenor. Proyeksi tersebut didasarkan pada spread wajar antara kupon SBN dengan yield 10 tahun yang merupakan benchmark di pasar keuangan.
"Saya asumsikan yield 10 tahun akan berada berkisar 6,31% - 6,69% di tahun depan," ujarnya kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu.
Adapun sepanjang tahun 2024, kisaran kupon SBN ritel berada dalam kisaran 6,3%-6,5%. Kupon terendah di 6,25% dan kupon tertinggi di 6,55%.
Baca Juga: Suku Bunga Dipangkas, Kupon SBN Diperkirakan Lebih Rendah di 2025
Meski terjadi penurunan, Suhindarto melihat SBN ritel akan tetap laris manis di tahun depan. Imbal hasil yang lebih tinggi daripada bunga deposito menjadi faktor penarik bagi investor ritel.
Selain itu, SBN memiliki tingkat risiko yang sangat rendah dan karena itu, dianggap sebagai aset bebas risiko (risk-free assets).
"Oleh karenanya, saya berkeyakinan bahwa masyarakat akan bersedia menempatkan uang mereka di SBN ritel," sebutnya.
Bunga deposito saat ini rata-rata masih di bawah 5% untuk tenor 6 bulan dan 12 bulan. Persentase tersebut lebih rendah daripada kupon SBN ritel, sehingga menempatkan dana pada deposito menjadi relatif kurang menarik.
Terlebih, dengan membeli SBN ritel, selain aman, investor juga bisa mendapatkan kupon setiap 6 bulan sekali.
Kupon SBN ritel di tahun depan diperkirakan juga akan cenderung kaku untuk turun. Kekakuan kupon tersebut terjadi karena tingginya kebutuhan untuk menerbitkan surat utang seiring dengan tingginya defisit anggaran dan surat utang pemerintah yang jatuh tempo di tahun depan.
Defisit anggaran meningkat dari Rp 522,83 triliun di 2024 menjadi Rp 616,19 triliun di 2025. Angka jatuh tempo di tahun depan mencapai Rp 721,08 triliun (data per 26 September 2024), jauh lebih tinggi daripada Rp 433,49 triliun di tahun ini.
Sebagai hasilnya, kebutuhan refinancing oleh pemerintah di tahun depan juga akan tinggi. Kondisi ini kemungkinan berdampak pada kekakuan yield surat utang pemerintah untuk turun meski ada pemangkasan suku bunga.
Baca Juga: Total Penjualan ST013 Mencapai Rp 20,4 Triliun, Didominasi Investor Milenial
Suhindarto juga melihat penambahan jumlah investor baru menjadi katalis bagi penambahan penawaran di tahun depan seiring dengan meningkatnya literasi dan akses oleh masyarakat.
"Kami melihat peningkatan jumlah investor ritel dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan kemudahan akses dan transparansi," sebutnya.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per Oktober 2024 jumlah investor di SBN baru sekitar 1,17 juta investor. Jumlah tersebut jauh lebih rendah daripada investor di pasar saham yang mana sebanyak 13,53 investor.
Bahkan, kepemilikan surat utang oleh investor ritel kini telah melonjak menjadi Rp 536,45 triliun per 2 Desember 2024 atau tumbuh 10 kali lipat dalam 13 tahun terakhir.
"Mempertimbangkan data tersebut, saya yakin ruang penambahan jumlah investor masih terbuka lebar," terangnya.
Faktor lainnya dari pajak yang lebih rendah dari deposito, yakni 10% berbanding dengan 20%. Kemudian dari katalis momentum, yang mana suku bunga diperkirakan akan turun menuju tingkat yang normal dalam jangka menengah.
Namun demikian, Pefindo melihat setidaknya terdapat dua faktor risiko yang menjadi tantangan bagi daya tarik SBN ritel. Pertama, suku bunga rendah akan mendorong pertumbuhan ekonomi, yang mana akan menjadi katalis bagi pasar saham.
Baca Juga: Reksadana Saham Kembali Unjuk Gigi Pimpin Return Tertinggi, Ini 5 Terbaiknya
Alhasil, beberapa investor mungkin akan mulai mengejar return yang lebih tinggi di pasar saham dengan mengalokasikan proporsi yang lebih besar daripada SBN.
Faktor kedua, substitusi dari SBN seri FR (fixed rate).
"Sama-sama dikenai pajak, sekarang ini, investor ritel juga bisa membeli obligasi FR di ponsel mereka karena tersedia di beberapa aplikasi yang lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi minat mereka terhadap SBN ritel," tutupnya.
Selanjutnya: Kerap Kabur dan Bungkam dari Wartawan, Sri Mulyani Beri Klarifikasi
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Personal Care Fair s/d 15 Desember 2024, Skincare Diskon hingga 50%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News