Reporter: Grace Olivia | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski ditutup menguat ke level Rp 13.776 per dollar Amerika Serikat (AS) akhir pekan lalu, tekanan terhadap rupiah belum berakhir. Kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve dan data ketenagakerjaan AS yang solid masih membayangi pergerakan rupiah, Senin (12/3).
Sementara, analis Global Kapital Investama Berjangka Nizar Hilmy, menyebut, ketegangan pasar seputar kebijakan impor AS sudah mulai mereda. Selain itu, sentimen positif juga berpotensi datang dari keinginan Korea Utara untuk mendiskusikan denuklirisasi dengan AS. "Ini bagus untuk pasar Asia, termasuk juga rupiah," kata Nizar, (9/3).
Namun, selain faktor eksternal, Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail, berpendapat rupiah juga masih terbeban secara fundamental. Antara lain, neraca perdagangan Indonesia yang mencatat defisit selama dua bulan berturut-turut.
Bank Indonesia (BI) memproyeksi bahwa pada Februari 2018, neraca perdagangan akan defisit sebesar US$ 230 juta. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia Januari 2018 mengalami defisit sebesar US$ 670 juta.
"Defisit di sektor migas karena kenaikan harga minyak, serta impor pemerintah untuk infrastruktur menjadi faktor penyebab defisit," ujar Mikail, (9/3).
Oleh karena itu, Mikail memperkirakan, Senin (12/3), rupiah masih cenderung melemah dan bergerak dalam rentang Rp 13.780 - Rp 13.790 per dollar AS. Namun, ia yakin Bank Indonesia bakal menjaga rupiah agar tidak kembali melampaui level Rp 13.800.
Sementara, Nizar memprediksi rupiah masih akan tertekan di kisaran Rp 13.800 - Rp 13.850 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News