Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah negara berupaya mengurangi penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) dalam transaksi perdagangan Internasional. Meski demikian, dampaknya terhadap nilai dolar AS dinilai akan terbatas.
Adapun sejumlah negara yang berupaya mengurangi transaksi dengan penggunaan dolar AS dari ASEAN dan BRICS.
ASEAN merupakan persekutuan negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki 11 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Laos, Kamboja, Brunei, Vietnam, Myanmar, dan Timor Leste. Sementara BRICS beranggotakan 11 negara, antara lain Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Dua kelompok ekonomi besar itu mendorong untuk memanfaatkan mata uang lokal masing-masing saat bertransaksi atau local currency transaction (LCT).
Baca Juga: Dedolarisasi Meluas ke Kawasan ASEAN
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, maraknya penggunaan LCT merupakan upaya dari banyak negara dunia untuk mengurangi volatilitas perdaganannya. Utamanya, ketika dolar AS cenderung bergejolak dalam 2 tahun terakhir.
Nah, seperti halnya dengan kasus di Indonesia serta negara ASEAN lainnya, penggunaan LCT ini hanya berdampak pada penurunan transaksi perdagangan menggunakan dolar AS. Sementara dolar AS masih dominan dipakai dalam penerbitan surat utang, cadangan devisa, dan lain-lain.
"Oleh karenanya, kami perkirakan dampaknya relatif terbatas terhadap penggunaan dolar AS secara keseluruhan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (28/8).
Josua mencontohkan India, proporsi impor relatif kecil dibandingkan dengan total impor India sendiri. Sementara bagi UAE, ekspor ke India mencakup hampir 17% dari total ekspor UAE.
Baca Juga: India Batasi Impor Laptop Hingga Tablet, Begini Tanggapan Kemenperin
"Sejalan dengan perannya dalam menjaga stabilitas nilai tukar domestik, kami perkirakan nilai tukar negara-negara ASEAN serta negara yang menggunakan LCT akan cenderung lebih stabil ketika terjadi shock dalam pergerakan Dollar AS," jelasnya.
Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong menambahkan, efek penggunaan LCT jelas akan menurunkan dominasi dolar AS. Namun, hal ini akan terjadi secara perlahan.
Ia memperkirakan dalam jangka pendek, periode 1-5 tahun ke depan dolar AS masih akan mendominasi. "Mungkin 10 tahun kemudian ketika porsi ekonomi AS sudah tidak sebesar sekarang," katanya.
Di sisi lain, China juga bertujuan menjadikan Yuan sebagai mata uang dunia. Hanya saja, tujuan tersebut dinilai tidak akan mudah, mengingat dolar AS bukan hanya mendominasi perdagangan, tetapi juga sebagai instrumen investasi sebagai safe haven serta mendominasi cadangan devisa negara.
Baca Juga: Ini Peristiwa yang Mempercepat Dedolarisasi Menurut Robert Kiyosaki
"Saya melihat efek terhadap mata uang secara langsung tidak besar, nilai dolar AS terhadap negara yang menggelar LCT masih tetap tergantung pada fundamental ekonomi negara masing-masing," paparnya.
Meski begitu, dari sejumlah negara yang menggalakan LCT pada akhir tahun diperkirakan mata uangnya akan membaik. Lukman mencontohkan rupiah akan bergerak di Rp 15.000 - Rp 15.400 per dolar AS, lalu ringgit di kisaran MYR 4,3 - MYR 4,5 per dolar AS, dan bath pada rentang THB 32 - THB 33 per dolar AS.
"Khususnya THB perlu dicermati perkembangan politik yang bisa positif maupun negatif bagi mata uang mereka," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News