kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Daya beli turun, emiten farmasi masih bertahan


Senin, 11 Mei 2015 / 09:00 WIB
Daya beli turun, emiten farmasi masih bertahan
ILUSTRASI. Ada beberapa alasan mengapa skincare tidak manjur atau berhasil walau sudah digunakan dengan benar.


Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Tingkat inflasi tinggi pada kuartal 1-2015 sebesar 0,17% telah memukul daya beli masyarakat. Secara tidak langsung tingkat inflasi ini mempengaruhi kinerja emiten sektor farmasi. Terlebih lagi dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga Rp 13.121 per dollar AS.

Analis Mandiri Sekuritas, Herman Koeswanto di dalam riset 15 April 2015 menjelaskan, kinerja emiten di kuartal I-2015 berada di bawah target. Ia menghitung pendapatan rata-rata melambat menjadi 10% yang disebabkan pelambatan volume penjualan dan pelemahan rupiah.

Kondisi ini membuat produksi meningkan dan menekan margin laba. Laba emiten di sektor farmasi diperkirakan turun 4,6%. Daya beli masyarakat yang menurun menjadi faktor masyarakat mengurangi pembelian dan memilih produk yang murah.

Hal yang sama juga diungkapkan analis Universal Broker, Satrio Utomo. Dia yang menuturkan depreasi rupiah dan dampak inflasi berpotensi menggerus daya beli masyarakat, terutama produsen obat Over The Counter (OTC).

“Nilai tukar rupiah yang masih berfluktuasi dan daya beli masyarakat yang menurun pasti akan membawa dampak yang tidak bagus bagi emiten farmasi,” ujar Satrio, akhir minggu lalu.

Kendati dihantam fluktuasi rupiah dan pelemahan daya beli masyarakat, analis tetap memproyeksikan emiten di sektor farmasi bisa tumbuh baik pada tahun 2015 ini, baik dari sisi fundamental seperti penjualan dan laba serta harga saham. Pertumbuhan industri ini diperkirakan sebesar 15%.

Salah satu emiten sektor farmasi yang dijagokan Satrio untuk tumbuh adalah perusahaan berplat merah, PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF). Menurutnya perusahaan milik pemerintah ini akan mendapatkan dampak yang baik dari melemahnya daya beli masyarakat. INAF dikenal memproduksi obat-obatan generik berharga murah. Masyarakat akan cenderung memilih obat yang harganya lebih murah di pasaran.

“Kalau daya beli masyarakat menurun, INAF seharusnya diuntungkan karena mereka menjual obat-obatan yang murah. Jadi kondisi ini justru bagus untuk INAF,” jelas Satrio.

Meskipun bahan baku untuk memproduksi obat masih didatangkan dari luar negeri dengan menggunakan mata uang dollar dan menjualnya kembali dengan rupiah, Satrio tidak melihat dampak yang terlalu besar terhadap prospek perusahaan.

Terlebih lagi dengan program-program kesehatan dari pemerintah yang mulai diimplementasikan tahun ini, berpotensi menumbuhkan pasar obat generik, seperti sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Begitu juga dengan emiten farmasi PT Tempo Scan Pasific Tbk (TSPC) yang diproyeksikan oleh analis dari Mandiri Sekuritas, Vanessa Ariarti Tanuwijaya, perseroan akan memperoleh pertumbuhan nett profit hingga 17,7%. Ia memprediksi angka penjualan produk TSPC akan meningkat mencapai 11,6% dengan kontribusi terbesar dari sektor obat-obatan. Adanya program BPJS dari pemerintah tidak akan berpengaruh banyak karena TSPC sendiri lebih berfokus pada penjualan obat OTC

“Penjualan obat OTC menyumbang 80-83% dari total seluruh penjualan produk obat-obatan,”terang Vanessa.

TSPC yang baru pertama kali mengeluarkan produk UHT pada kuartal I-2015, Vidoran KIDS with Cod Oil, dipercaya dapat memberikan gross margin yang positif di segmen nutrisi. Kondisi di lapangan mengindikasikan masyarakat menerima dengan baik produk-produk Vidoran.

Vanessa yakin produk baru Vidoran di segmen nutrisi ini akan menjadi penggerakan pertumbuhan TSPC untuk jangka waktu yang lama. Ditargetkan segmen nutrisi berkontribusi hingga 2-3% dari penjualan dan 2-3% pula untuk market share.

Sementara itu analis dari Ciptadana Securities, Jennifer Widjaja, melaporkan dalam riset 7 Mei 2015, emiten sektor farmasi PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) berhasil mengukuhkan kenaikan net profit yang mencapai 7% YoY atau Rp 529 miliar dari yang sebelumnya Rp 493 miliar pada kuartal I-2015.

Kenaikan net profit ini sejalan dengan prediksi Jennifer yang memproyeksikan 20% laba. Pada tahun 2014, KLBF membukukan laba bersih terbesar dibandingkan emiten farmasi lainnya. Perolehan laba bersih perusahaan sebesar Rp 2,06 triliun. Pertumbuhan laba bersih KLBF ini dicetak dari naiknya penjualan bersih sepanjang tahun 2014 sebesar 8,5% menjadi Rp 17,4 triliun dari sebelumnya Rp 16 triliun.

“Sektor nutrisi KLBF mengalami pertumbuhan pendapatan tertinggi sebesar 13,6% YoY atau menjadi Rp 1,2 triliun di kuartal 1-2015,”

Selain itu, pada pertengahan tahun ini, fasilitas pabrik nutrisi cair baru diharapkan dapat mulai beroperasi dan meningkatkan kapasitas produksi dari produk cari KLBF. Oleh karena itu, Jennifer memprediksi kinerja sektor nutrisi perusahaan mampu bertahan meskipun daya beli masyarakat yang melemah.

Adapun, emiten farmasi PT Kimia Farma Tbk (KAEF) tetap optimis dengan target pertumbuhan penjualan pada 2015 sebesar 16%. Analis dari Danareksa Sekuritas, Armando Marulitua menuturkan KAEF mengalami pelambatan pertumbuhan pendapatan yang hanya 4% pada tahun 2014 akibat dari buruknya penjualan produk. Berdasarkan riset 10 April 2015, pertumbuhan penjualan KAEF negatif 1,6% YoY.

“Hal ini makin disebabkan oleh turunya penjualan peralatan kesehatan sebesar 42% karena pengeluaran pemerintah untuk peralatan kesehatan yang berkurang,” jelas Armando.

Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi sepanjang kuartal I-2015 akan memberikan tekanan terhadap gross margin perusahaan selama setengah tahun pertama 2015. Untuk itu, diharapkan gross margin akan stabil berkat efisiensi pengeluaran perusahaan yang lebih baik dan rencana perusahaan untuk meningkatkan margin penjualan produk.

Sepanjang 2014, kinerja saham emiten farmasi memang tidak semuanya membukukan tren yang positif. Meskipun begitu, emiten KLBF dinilai memiliki prospek yang paling bagus. Nama besar Kalbe dianggap menjadi garansi pertumbuhan saham. Perseroan dianggap memiliki fundamental yang kuat dengan mengukuhkan kenaikan net profit 7% YoY atau Rp 529 miliar pada kuartal I-2015 dan akan beroperasinya pabrik nutrisi cair baru pada pertengahan tahun ini.

Untuk saat ini, Armando Marulitua merekomendasikan hold dengan target harga Rp 1.900. Jennifer Widjaja merekomendasikan hold dengan target harga Rp 1.670. Serta Vanessa Ariarti Tanuwijaya merekomendasikan neutral dengan target harga Rp 1.900.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×