Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana asing lari dari pasar ekuitas tanah air. Per perdagangan Kamis (26/10), investor asing mencatatkan aksi jual bersih alias net foreign sell hingga Rp 1,37 triliun di pasar reguler.
Dalam sepekan, asing mencatatkan aksi jual alias net sell hingga Rp 2,44 triliun. Bahkan sepanjang bulan ini, asing mencatatkan aksi jual bersih hingga Rp 5,13 triliun.
Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan melihat, aksi jual tersebut dipengaruhi faktor kenaikan yield US treasury yang signifikan pada pertengahan Agustus, yang menyentuh rekor tertinggi sejak 2007. Kondisi ini membebani pasar saham, sehingga banyak investor mengurangi porsi aset berisiko termasuk pasar saham emerging market seperti Indonesia.
Selain itu, penyebab lainnya adalah pergeseran ekspektasi pasar terhadap level suku bunga. Sebelumnya, pasar memperkirakan suku bunga mulai turun pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Baca Juga: Saham-Saham yang Banyak Dipungut Asing Saat IHSG Merosot Tajam Kemarin
“Namun, jika melihat Rapat The Fed yang mempertahankan sikap hawkish membuat bunga sulit untuk turun sampai akhir tahun,” kata Alfred.
Head of Equity Investment Berdikari Manajemen Investasi Agung Ramadoni menilai, penyebab dana asing hengkang dari pasar saham Indonesia di antaranya adalah sentimen data perkiraan gross domestik produk (GDP) yang direvisi menurun dan data purchasing managers’ index (PMI) manufacturing yang bergerak menurun.
Ada pula data ekspor dan impor yang turun di bawah perkiraan dan kebijakan pengetatan lanjutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
“Di sisi lain, faktor akan digelarnya pemilu yang membuat pengusaha dan investor asing untuk wait and see sambil menunggu hasil pemilu untuk penentuan kebijakan selanjutnya,” kata Agung.
Di sisi lain, Agung menilai kenaikan tingkat suku bunga yang diambil oleh BI cukup terlambat, sehingga kebijakan ini tidak terlalu diapresiasi oleh pasar. Sebab, masa terbaik perekonomian Indonesia sudah hampir lewat di saat harga komoditas bergerak naik signifikan kala itu.
Sementara itu, rata-rata spread antara Fed rate dengan BI 7 Day Repo Rate (BI7DRR) secara historis 3 tahun terakhir berada di kisaran 2% dan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berada di kisaran 5%.
“Jadi, dengan kenaikan 25 basis poin (bps) dari BI7DRR kemarin, belum dapat membuat dana asing masuk kembali ke Indonesia,” kata Agung.
Alfred menilai, faktor yang bisa memastikan aksi beli asing adalah penurunan risiko ketidakpastian (uncertainty risk) yang akan membuat investor asing berani memperbesar kembali aset surat berharga di emerging market dalam portofolio mereka. Penurunan uncertainty tadi seperti mulai terlihatnya kebijakan untuk mulai menurunkan suku bunga hingga menurunnya eskalasi konflik/perang.
Sejumlah saham menjadi target penjualan investor asing dalam sepekan, mulai dari saham perbankan seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan net sell Rp 1,1 triliun, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan net sell Rp 591,9 miliar, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan net sell Rp 303,6 miliar.
Ada juga saham blue chips lainnya yakni saham PT Astra International Tbk (ASII) dengan net sell Rp 105,9 miliar, saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dengan net sell Rp 256,6 miliar, dan saham PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) dengan net sell Rp 104,5 miliar.
Baca Juga: Simak Strategi Atur Portofolio di Tengah Fluktuasi IHSG
Menurut Alfred, aksi jual terhadap saham-saham tersebut lebih kepada pertimbangan makro atau mandatory karena penurunan porsi instrumen investasi pada Indonesia, bukan karena adanya sentimen individual saham ataupun sektor.
“Dan jika kondisi membaik dimana asing kembali menambah porsi, maka saham-saham tersebut akan target bagi asing,” sambung Alfred.
Menurut dia, saham-saham perbankan masih oke untuk dikoleksi saat terjadi koreksi, terkhusus untuk bank-bank big caps. Untuk saham BBCA bisa memperhatikan level support untuk menjadi level entry di Rp 8.500 - Rp 8.700, BBRI di level entry Rp 4.900 – Rp 4.930, dan BMRI level entry Rp 5.600 – Rp 5.675
Sementara menurut Agung, saham-saham big caps yang masih layak diakumulasi di tengah kondisi perekonomian saat ini adalah saham yang lebih bersifat defensif, diantaranya saham barang konsumsi dan juga saham sektor kesehatan.
Adapun saham pilihan Agung yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dengan target harga Rp 12.000, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dengan target harga Rp 4.250, PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dengan target harga Rp 2.900, PT Prodia Widyahusada Tbk (PRDA) dengan target harga Rp 7.500, dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dengan target harga Rp 2.050.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News