Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa turut berdampak pada pasar obligasi dalam negeri. Namun para analis melihat, ini hanya sementara dan menjadi momentum merealisasikan keuntungan.
Keluarnya investor asing dari pasar obligasi Indonesia lantaran terseret pergerakan nilai tukar rupiah. Saat hasil referendum diumumkan pada akhir pekan lalu, nilai tukar mata uang Garuda tersebut ikut anjlok dan sempat sentuh Rp 13.525 per dollar AS.
Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra menuturkan, investor asing memang cukup sensitif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Maklum, setelah mengkonversikan hasil investasi dari rupiah yang tengah terdepresiasi, keuntungan investor asing berpotensi mengecil. Tapi harus dicermati apakah investor asing benar-benar keluar dari pasar obligasi kita.
"Atau hanya memanfaatkan momentum untuk merealisasikan keuntungan," tutur Made.
Volume perdagangan obligasi Indonesia yang tinggi pada Jumat (24/6) akan mengindikasikan investor asing benar-benar melepaskan kepemilikan mereka. Sebaliknya, jika volume perdagangan surat utang akhir pekan lalu minim, artinya investor asing hanya berusaha merealisasikan keuntungan alias profit taking.
Namun, kecil peluang investor asing meninggalkan pasar obligasi Tanah Air. Mengingat, instrumen surat utang Indonesia menawarkan imbal hasil lebih menarik ketimbang negara di kawasan.
Mengacu AsianBondsOnline per Jumat (24/6), imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun mencapai 7,6%. Nilai tersebut lebih atraktif ketimbang yield obligasi pemerintah bertenor sama negara Asia lainnya seperti China 2,94%, Jepang minus 0,14%, Malaysia 3,87%, Filipina 4,08%, Singapura 2,04%, Thailand 2,11% serta Vietnam 6,96%.
Katalis positif juga bersumber dari pertumbuhan ekonomi dalam negeri. "Meskipun ekonomi melambat, momentum pertumbuhan ekonomi masih ada," terang Made.
Artinya, pasar obligasi tetap berpeluang melanjutkan penguatan hingga akhir tahun 2016. Argumennya, di tengah tren penurunan suku bunga deposito, instrumen surat utang yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi justru kian atraktif.
Berpotensi bullish
Made menyarankan, pada kondisi saat ini investor dapat memanfaatkannya sebaik mungkin, dengan cara mengakumulasi Surat Utang Negara (SUN). Sebab, pelaku pasar dapat menghimpun imbal hasil lebih dari 8% dari SUN bertenor 15 tahun hingga 20 tahun.
Apalagi masih ada ruang bagi Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunganya di separuh kedua 2016. Dengan catatan, inflasi dalam negeri terkendali.
"Bisa turun 25 bps lagi, mungkin di September. BI juga berusaha jaga momentum ekonomi dengan melonggarkan kebijakan loan to value (LTV) properti hingga Giro Wajib Minimum (GWM)," paparnya.
Made mengingatkan, pelaku pasar masih akan mencermati rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS alias The Fed. Meskipun pasca Brexit, besar peluang The Fed akan menahan rencananya. Sebab, pasca Brexit menimbulkan gejolak dunia.
Analis Infovesta Utama Beben Feri Wibowo melihat prospek pasar obligasi dalam negeri bergantung pada kondisi makro domestik, pembangunan infrastruktur, peningkatan daya beli masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi domestik.
"Kabar positifnya, pemerintah dan BI sudah menerapkan kebijakan yang dinilai tepat," imbuhnya. Di antaranya, pemangkasan suku bunga acuan BI dan kenaikan level Pendapatan Tidak Kena Pajak dari semula Rp 3 juta menjadi Rp 4,5 juta serta rencana kebijakan tax amnesty.
Made memproyeksikan, di penghujung tahun 2016, yield FR0056 berpeluang mencapai 7,2%. Asal BI rate menyusut ke level 6,25%. "Proyeksi moderat di level 7,6%," terkanya.
Pada Jumat (24/6), yield FR0056 ditutup pada 7,81%. Beben menduga, hingga akhir tahun 2016, yield FR0056 bergulir pada 7,5% - 9,15%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News