Reporter: Rashif Usman | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan parlemen telah menyepakati postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2025 belum lama ini. Untuk nilai tukar rupiah, kedua belah pihak sepakat agar rupiah di level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Angka ini lebih rendah dari usulan pemerintah sebelumnya sebesar Rp 16.100 per dolar AS.
Nah, penetapan asumsi kurs senilai Rp 16.000 tahun depan tampaknya memiliki dampak beragam bagi emiten yang bergerak di sektor ekspor-impor.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo melihat asumsi kurs rupiah dalam APBN memang terlihat akan adanya potensi pelemahan, tetapi saat ini adanya inflow asing membuat rupiah menguat.
Dengan asumsi dan foreign flow ini bisa memberikan katalis positif terhadap sektor kesehatan dan farmasi, konsumer, dan ritel yang mana bahan baku mereka berasal dari impor.
"Penguatan rupiah ini bisa menekan dari sisi biaya sehingga adanya peningkatan dari bottom line," kata Azis kepada Kontan, Senin (23/9).
Baca Juga: Mata Uang Komoditas Menarik Saat Suku Bunga Fed Dipangkas
Azis menilai, angka yang dipatok Rp 16.000 per dolar AS itu sudah ideal. Yang terpenting menurutnya ialah stabilitas nilai tukar ke depannya. "Pemerintahan baru maupun Bank Indonesia dapat membuat kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," terangnya.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana memprediksi, emiten yang memiliki dominasi impor seperti sektor farmasi akan terdampak positif. Pasalnya, biaya pembelian bahan baku yang sebagian besar masih berasal dari impor akan lebih murah dengan penguatan rupiah.
"Sebagai contoh, bahan baku farmasi yang masih diimpor hingga 90% dapat mengurangi tekanan biaya produksi," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Senin (23/9).
Kemudian, emiten seperti PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES), yang bergerak di sektor ritel dengan banyak mengimpor barang kebutuhan rumah tangga dan gaya hidup, juga akan merasakan keuntungan karena penurunan biaya impor dapat mendongkrak margin keuntungan.
Emiten lain seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dari grup Salim diproyeksi juga mendapatkan keuntungan dari penurunan beban bunga pinjaman luar negeri, karena selisih kurs yang lebih baik akan menurunkan biaya keuangan mereka.
Baca Juga: Kurs Rupiah Dipatok Rp 16.000 per Dolar AS, Intip Rekomendasi Saham Berikut
Secara umum, asumsi kurs ini memberikan peluang bagi emiten yang berbasis impor. Namun, bagi emiten yang fokus pada ekspor, penguatan rupiah bisa menjadi tantangan karena produk mereka menjadi lebih mahal di pasar internasional.
"Menurut pandangan analis, kurs yang seimbang antara Rp 15.000 hingga Rp 15.500 per dolar AS dianggap lebih pas untuk menjaga daya saing ekspor sekaligus menjaga stabilitas biaya impor," ujarnya.
Sementara itu, Senior Maket Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta memaparkan asumsi kurs rupiah tahun depan memiliki prospektif terhadap emiten yang berorientasi ekspor.
"Paling tidak, emiten-emiten berorientasi ekspor akan mendapatkan benefit dari penetapan asumsi rupiah Rp 16 ribu per dolar AS," ucap Nafan kepada Kontan.co.id, Senin (23/9).
Baca Juga: Penerimaan Bea dan Cukai Capai Rp 183,2 Triliun per Agustus 2024
Rupiah Mesti Stabil
Asumsi kurs Rp 16.000 tahun depan dinilai bukan menjadi suatu patokan yang utama. Sebab, stabilitas rupiah jauh lebih penting dibandingkan penetapan asumsi tersebut itu sendiri.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus menyampaikan, rupiah yang melemah cenderung menguntungkan bagi emiten yang memiliki basis bisnis ekspor. Sebaliknya, setiap rupiah yang menguat maka perusahaan importir yang paling diuntungkan.
Nico menegaskan, setiap emiten berbasis ekspor-impor wajib memitigasi risiko, seperti menerapkan strategi hedging kurs. Ini menjadi poin penting untuk menjaga koreksi keuangannya.
"Hampir semua bisnis ekspor dan impor memiliki strategi masing-masing untuk hedging kurs. Asumsi kurs bukan suatu tolak ukur, tapi lebih kepada rentang nilai yang akan bergerak. Fokus utama bukan Rp 16.000, tapi lebih ke stabilisasi nilai tukar," tuturnya.
Nico berpendapat, pergerakan rupiah yang paling nyaman untuk bisnis ialah rentang Rp 15.000 sampai Rp 15.500.
Baca Juga: Kompak, Rupiah Jisdor Melemah 0,60% ke Rp 15.191 Per Dolar AS Pada Senin (23/9)
Senada, Nafan juga menilai yang terpenting ialah stabilitas dari nilai tukar rupiah untuk mendongkrak kinerja bisnis emiten yang memiliki lini bisnis ekspor-impor.
"Kalau kita lihat dari tren penurunan suku bunga dari Bank Indonesia ini bertujuan mendukung pertumbuhan ekonomi. Yang penting, rupiah tetap stabil," jelasnya.
Di samping itu, pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengamati, asumsi kurs sangat mungkin akan direvisi ke level Rp 15.500-an. Dengan begitu, importir akan diuntungkan karena membayar rupiah lebih sedikit dibandingkan eksportir yang penerimaannya rupiahnya lebih rendah.
"Saya pikir yang lebih penting buat importir dan eksportir ke depannya adalah kurs rupiah yang stabil," ungkap Budi kepada Kontan.co.id, Senin (23/9)
Baca Juga: Ramai-Ramai Saham Perbankan Menguat pada Awal Pekan Ini
Azis merekomendasikan trading buy untuk saham MAPA, KLBF dan INDF dengan masing-masing target harga Rp 1.030 per saham, Rp 1.875 per saham dan Rp 7.500 per saham.
Hendra merekomendasikan untuk mencermati saham INDF dengan target harga Rp 7.500 per saham, HRUM dengan target harga Rp 1.580 per saham, PYFA dengan target harga Rp 220 per saham dan ACES dengan target harga Rp 990 per saham.
Sementara itu, Nafan merekomendasikan untuk accumulative buy saham MYOR, ASII, ANTM ICBP dengan target harga masing-masing Rp 2.690 per saham, Rp 5.250 per saham, Rp 1.390 per saham dan Rp 11.600 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News