Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek industri rokok dalam negeri di tahun depan semakin gelap. Apalagi, pemerintah sedang mengupayakan pengurangan konsumsi rokok masyarakat. Salah satunya dengan menaikkan tarif cukai rokok.
Kenaikan cukai rokok yang juga terjadi di tahun ini membuat emiten rokok melakukan efisiensi pada biaya produksi demi mengerek laba bersih. Alfred Nainggolan, Analis Koneksi Kapital, menambahkan, selain kenaikan cukai, juga ada tekanan psikologis pasar yang diterpa iklan atau kampanye pemerintah terhadap bahaya merokok. Hal ini berhasil mengerem pendapatan emitem rokok.
Namun, di tengah penurunan volume penjualan, analis meyakini perusahaan besar di industri rokok masih bisa bertahan. Di antaranya seperti PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM).
Bahkan Analis Samuel Sekuritas Akhmad Nurcahyadi memperkirakan, kedua emiten kelas kakap ini mampu bertahan pasca penerapan tarif cukai baru tahun depan. "HMSP punya keunggulan portofolio produk yang solid sedang produk kretek GGRM masih merajai pasar," kata dia, dalam riset yang diterbitkan 20 Oktober 2017.
Beban emiten rokok memang bakal terlihat jelas tahun depan. Menurut pemaparan Akhmad, potensi penurunan volume penjualan yang tajam muncul saat harga rata-rata penjualan atawa average selling price (ASP) melonjak akibat berlanjutnya penyesuaian harga atas kenaikan cukai rokok.
Menurut hitungan Akhmad, dengan kenaikan cukai, porsi pajak per batang rokok bisa menyentuh 70%. Saat ini, porsi pajak per batang rokok masih di kisaran 50%–60%.
Nasib kelas dua
Emiten besar memang masih mampu bertahan dengan gempuran kenaikan cukai, tapi Alfred mengkhawatirkan kinerja emiten rokok second liner seperti PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) bakal terpuruk. Tahun ini saja, kinerja WIIM terlihat turun.
Pendapatan WIIM di kuartal III-2017 terkikis 11,75% menjadi Rp 1,14 triliun. Alhasil, laba bersih WIIM dalam sembilan bulan pertama 2017 anjlok 66,39% dari Rp 79,05 miliar ke Rp 26,57 miliar. "Yang jadi masalah sekarang volume penjualan emiten second liner lebih banyak terpengaruh dari kenaikan cukai, sementara pemain utama karena sudah memiliki brand yang cukup kuat, konsumen mereka yang sekarang sulit untuk berpindah," kata Alfred.
Pada emiten rokok lapis kedua, ketika menaikkan harga jual untuk menyesuaikan dengan kenaikan tarif cukai rokok, konsumen malah bisa lari dan beralih ke merek rokok yang lebih terkenal.
Alfred memperkirakan, akan sulit bagi emiten rokok mencatatkan pertumbuhan besar. "Kemungkinan pertumbuhan konsumsi rokok untuk pemain utama bukan berasal dari konsumer baru, melainkan para konsumen lama yang berpindah menggunakan rokok mereka atau karena pemain ketiga perusahaan rokok yang gulung tikar seiring naiknya tarif cukai rokok," jelas Alfred.
Karena itu Alfred menjagokan GGRM yang memiliki valuasi lebih murah. Senada, Analis NH Korindo Sekuritas Joni Wintarja juga memilih GGRM, karena menjual 80% rokok berjenis sigaret kretek mesin (SKM) yang masih jadi favorit konsumen rokok.
Joni yakin di akhir tahun ini GGRM bisa mencetak pendapatan hingga Rp 83,1 triliun, dengan laba bersih sebesar Rp 7,37 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News