kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Cermati efek dual class SGX ke BEI


Senin, 22 Januari 2018 / 07:45 WIB
Cermati efek dual class SGX ke BEI


Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Singapura (SGX) akan merilis aturan baru dual class stock. Dengan aturan ini, SGX membentangkan karpet merah bagi perusahaan teknologi, termasuk perusahaan start up asal Indonesia, untuk masuk bursa Singapura.

Aturan dual class memungkinkan start up masuk bursa dengan cara berbeda dibanding emiten lain. Dalam konteks bursa saham, saham jenis ini memberikan bobot pemungutan suara (vote) yang berbeda antara pemegang saham pendiri dan pemegang saham publik.

Sejumlah start up unicorn Indonesia memang tengah mempertimbangkan skema pendanaan melalui initial public offering (IPO). Go-Jek, misalnya, akhir tahun lalu menyatakan ingin masuk bursa saham. Namun tak jelas melalui bursa saham mana Go-Jek akan melaksanakan go public.

Unicorn lainnya masih wait and see dan fokus pada pengembangan bisnis. Misalnya Traveloka. "Sampai saat ini kami belum berencana IPO. Fokus kami adalah terus memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh pelanggan melalui peningkatan fitur dan produk," kata Busyra Oryza, Public Relations Manager Traveloka kepada KONTAN, Minggu (21/1). Selain Traveloka dan Go-Jek, dua unicorn asal Indonesia lainnya adalah Tokopedia dan Bukalapak.

Efek ke pasar lokal

Tak bisa dipungkiri, langkah SGX menjadi magnet bagi perusahaan start up. Analis First Asia Capital David Nathanael Sutyanto menyebutkan, ada nilai positif maupun negatif atas pemberlakuan aturan dual class ini.

"Menurut saya, investor publik belum tentu mau," ungkap David. Meski demikian, dia tak menyangkal terobosan SGX cukup menarik.

Perusahaan start up di Indonesia sangat mungkin tertarik dengan skema pendanaan IPO yang ditawarkan Bursa Efek Singapura. Apalagi, aturan itu sejalan ketentuan dual listing di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Namun, David menilai, tidak selayaknya otoritas BEI terburu-buru meniru maupun menerapkan aturan semacam dual class di pasar domestik. Sebaiknya BEI mengintip dulu realisasi penerapannya di Singapura.

Analis Binaartha Parama Sekuritas Muhammad Nafan Aji juga mengemukakan, peraturan SGX memang berpotensi menarik minat perusahaan start up, termasuk asal Indonesia. Apalagi, otoritas bursa di Singapura memang berambisi menjadi fintech hub dan teknologi baru di pasar global.

Hal itu juga didukung iklim investasi di Singapura yang lebih kondusif. Dari sisi regulasi dan infrastruktur, Singapura cukup siap.

Meski demikian, bukan berarti aturan bursa Singapura tersebut bisa langsung menarik minat start up asal Indonesia untuk go public di bursa Singapura.

Perusahaan start up Indonesia juga bakal menakar animo investor di Singapura sebelum masuk. "Belum tentu menjamin saham IPO perusahaan start up asal Indonesia mencatatkan permintaan besar di Singapura," ungkap Nafan.

Start up seperti Tokopedia dan Go-Jek memang memiliki pasar besar di Indonesia. Namun, menurut Nafan, hal itu belum tentu berlaku di Singapura. Perusahaan start up juga mesti memiliki fundamental keuangan positif agar mampu menarik minat investor asing untuk membeli saham perdananya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×