Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah yang hendak menyesuaikan tarif royalti untuk sejumlah komoditas mineral berpotensi menambah tantangan bagi emiten-emiten yang bergerak di sektor pertambangan tersebut.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini Kementerian ESDM menggelar konsultasi publik mengenai rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku di lingkup Kementerian ESDM.
Dari situ, terdapat beberapa usulan kenaikan tarif royalti pada beberapa jenis mineral. Sebagai contoh, komoditas tembaga berpotensi mengalami kenaikan tarif royalti progresif yang cukup drastis, dari yang sebelumnya hanya 5% menjadi sekitar 10%—17% dengan mengikuti Harga Mineral Acuan (HMA).
Tarif royalti konsentrat tembaga juga diusulkan naik dari sebelumnya berlaku tarif tunggal 4% menjadi 7%—10% mengikuti HMA.
Komoditas lainnya yakni emas juga berpeluang mengalami kenaikan tarif royalti progresif dari sebelumnya hanya di kisaran 3,75%—10% menjadi 7%—16% mengikuti HMA.
Nikel juga tak luput dari rencana penyesuaian tarif royalti. Dalam hal ini, tarif royalti progresif bijih nikel diusulkan naik dari sebelumnya berlaku tarif tunggal 10% menjadi 14%—19% dengan mengacu HMA.
Baca Juga: IHSG Kembali Terkoreksi, Saham-Saham Ini Banyak Dipungut Asing, Selasa (11/3)
Komoditas turunannya yakni nikel matte juga direncanakan mengalami kenaikan tarif royalti progresif menjadi 4,5%—6,5% mengikuti HMA dengan penghapusan windfall profit 1%. Sebelumnya, tarif tunggal yang berlaku untuk nikel matte adalah 2%.
Padahal, emiten-emiten pertambangan mineral tengah dilanda euforia seiring pemulihan harga bijih nikel global.
Mengutip situs Trading Economics, dalam sebulan terakhir atau month to month (mtm), harga bijih nikel di pasar global melesat 6,47% mtm ke level US$ 16.426 per ton pada Selasa (11/3) pukul 18.00 WIB.
Salah satu emiten tambang nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengaku belum bisa berkomentar lebih jauh terkait rencana penyesuaian tarif royalti mineral oleh pemerintah. Maklum, saat ini kebijakan tersebut masih di tahap usulan atau perencanaan.
“Kami tidak mau berspekulasi terlebih dahulu. Ditunggu saja,” kata Chief Sustainability and Corp Affairs Officer Vale Indonesia Bernardus Irmanto, Selasa (11/3).
Walau begitu, INCO menyambut hangat lonjakan harga komoditas bijih nikel global yang terjadi akhir-akhir ini lantaran tren demikian akan berkorelasi positif terhadap kinerja emiten tersebut.
Sementara itu, Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas Muhammad Thoriq Fadilla menilai, isu mengenai rencana penyesuaian tarif royalti untuk komoditas mineral patut menjadi perhatian lebih bagi emiten-emiten yang bergerak di industri tersebut. Kenaikan tarif royalti untuk komoditas mineral metal berpotensi menekan kinerja keuangan emiten produsen mineral.
Baca Juga: IHSG Berpotensi Bergerak Sideways, Cermati Rekomendasi Saham Ini untuk Rabu (12/3)
“Jika revisi tarif royalti ini disahkan, maka emiten mineral metal akan menghadapi tekanan tambahan,” imbuh dia, Senin (11/3).
Senada, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer menyatakan, harga komoditas mineral berisiko terkoreksi jika terjadi perubahan pada kondisi ekonomi global maupun kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan pemerintah yang dimaksud mencakup amandemen tarif royalti mineral.
“Kebijakan ini dapat menekan margin keuntungan emiten produsen mineral,” tutur dia, Selasa (11/3).
Di luar faktor rencana penyesuaian tarif royalti, prospek emiten yang berada di sektor tambang mineral masih cukup menantang. Di sektor nikel misalnya, tren kenaikan harga komoditas ini diperkirakan hanya bersifat sementara. Sebab, fundamental utama nikel masih lemah terutama dari sisi permintaan.
Di pasar domestik sendiri, saat ini pasokan bijih nikel mengalami penurunan. Hal ini dapat membatasi kapasitas produksi smelter yang pada akhirnya memengaruhi pendapatan emiten yang bersangkutan.
Kendati demikian, jika terdapat data ekonomi yang mendukung, seperti tanda-tanda pemulihan ekonomi China, maka ini bisa menjadi katalis bagi peningkatan permintaan nikel. Salah satu data penting yang perlu diperhatikan adalah data inflasi China yang dirilis pada akhir pekan nanti.
“Jika inflasi China mencatatkan kenaikan lebih tinggi dari bulan sebelumnya yaitu sekitar 0,5%, ini bisa menjadi sentimen positif bagi komoditas nikel,” ungkap Thoriq.
Untuk sektor tambang mineral, Thoriq merekomendasikan buy on weakness saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) di level Rp 1.530 per saham dengan target harga di level Rp 1.625 per saham dan stop loss di level Rp 1.480 per saham.
Dia juga merekomendasikan beli saham PT Timah Tbk (TINS) di level Rp 990 per saham dengan target harga di level Rp 1.030 per saham dan stop loss di level Rp 955 per saham.
Sementara itu, Miftahul merekomendasikan trading buy saham ANTM dengan target harga di level Rp 1.555 per saham.
Selanjutnya: Cara Bikin SKCK Online untuk Daftar Rekrutmen Bersama BUMN, Cek Syarat & Biayanya
Menarik Dibaca: Daftar 5 Serial Misteri Pembunuhan Penuh Teka-Teki Western di Netflix
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News