Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Sementara, jika perusahaan terbuka tidak dapat memenuhi ketentuan perubahan status menjadi perusahaan tertutup (termasuk melakukan buyback atas saham yang dimiliki pemegang saham publik), maka OJK dengan mempertimbangkan kondisi perusahaan terbuka yang mengalami terganggunya going concern dapat memohonkan pembubaran terhadap perusahaan tersebut kepada Kejaksaan Republik Indonesia (Pasal 72) atau memberikan perintah tertulis untuk memenuhi ketentuan perubahan status menjadi perusahaan tertutup.
"Konsekuensi jika perusahaan tidak mematuhi perintah tertulis, dapat diproses lebih lanjut ke tahap penyidikan (Pasal 92 ayat (4))," terang Djustini.
Kondisi kedua, delisting sebagai konsekuensi tidak terpenuhinya persyaratan pencatatan Efek di Bursa Efek (Pasal 70). Djustini menyebutkan, jika hal ini terjadi, BEI mengajukan permohonan ke OJK agar perusahaan terbuka diperintahkan untuk mengubah status menjadi perusahaan tertutup. "Setelah OJK mencabut efektifnya Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Terbuka, BEI bisa melakukan delisting," tutur dia.
Baca Juga: Beberapa emiten berpotensi delisting, investor perlu berhati-hati
Djustini menegaskan, POJK Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu pada tanggal 22 Februari 2021. Sehingga ketentuan mengenai semua ketentuan dalam POJK ini sudah berlaku sejak tanggal diundangkan termasuk ketentuan mengenai pembatalan pencatatan efek oleh BEI.
Namun terkait dengan kewajiban untuk mencatatkan efek bersifat ekuitas pada BEI dan mendaftarkan efek dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, diberikan masa peralihan yaitu paling lambat 2 tahun setelah berlakunya POJK ini atau sebelum batas waktu 2 tahun jika perusahaan terbuka melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD (Pasal 105).
Baca Juga: Lindungi investor publik, OJK wajibkan emiten delisting untuk buyback saham
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News