Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Minat perusahaan go public di pasar modal domestik tahun ini masih minim. Per 6 Juni 2017, baru ada delapan perusahaan yang mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Bukan cuma jumlah perusahaan yang initial public offering (IPO) yang minim. Nilai emisinya pun terbilang mini. Delapan perusahaan tadi hanya menghimpun dana IPO senilai total Rp 974 miliar, atau rata-rata Rp 121 miliar.
Sementara yang masih dalam daftar antrean IPO juga kecil-kecil. Bahkan rata-rata nilai IPO-nya di bawah Rp 100 miliar.
Tak heran, kehadiran emiten anyar di BEI berkontribusi minim untuk mendongkrak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Saat ini, laju indeks saham lebih banyak dipengaruhi sentimen dari luar bursa. Misalnya, langkah Standard & Poor's (S&P) mengerek peringkat Indonesia ke level investment grade.
Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Taye Shim menyebut, jumlah perusahaan publik di BEI relatif minim dibandingkan negara emerging market lain, seperti Korea Selatan. Padahal, kata dia, jumlah perusahaan terdaftar di bursa penting sebagai salah satu syarat bursa berkembang.
Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman memprediksi, perusahaan besar akan mempertimbangkan IPO di semester kedua tahun ini, menunggu situasi ekonomi dan politik stabil. "Mereka wait and see hingga politik stabil dan aman untuk berinvestasi." ujar dia kepada KONTAN, kemarin.
Selain timing, pola pikir (mindset) pemilik perusahaan ikut mempengaruhi minat go public. Kepala Riset Erdhika Elit Sekuritas Wilson Sofan menilai, mindset kebanyakan pemilik perusahaan kakap di Indonesia berbeda dengan pemilik perusahaan jumbo di luar negeri.
Taipan luar negeri ingin menjadikan saham perusahaannya sebagai mata uang (currency) sehingga mudah mendapatkan akses pendanaan.
"Di Indonesia, founder yang memiliki bisnis besar berpikir sebaliknya, 'Jika perusahaan menguntungkan, kenapa saya harus berbagi dividen dengan orang lain'," ungkap Wilson.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri menilai, go public bagi perusahaan kakap kerap menjadi pilihan terakhir. "Beberapa korporasi sebenarnya tak mau membagi kepemilikan," tutur Hans.
Di saat yang sama, alternatif pendanaan cukup terbuka bagi korporasi besar. Misalnya, pendanaan melalui obligasi maupun pinjaman bank. Apalagi, saat ini Indonesia sudah meraih investment grade, sehingga tren bunga cenderung menguncup.
Dengan tren bunga dan yield yang cenderung turun, maka pendanaan obligasi menjadi pilihan menarik. Apalagi obligasi bisa dibilang lebih murah dibandingkan IPO.
Alhasil, menurut Norico, jika ingin go public marak, otoritas BEI perlu memberi insentif menarik. Seperti kemudahan proses IPO, insentif pajak, serta kemudahan perizinan lainnya.
Perusahaan kecil yang berminat IPO juga perlu diberi ruang sosialisasi. Sebab, investor publik cenderung mengincar perusahaan yang sudah dikenal mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News