Sumber: KONTAN | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Memanasnya hubungan dagang Amerika Serikat (AS) China menyebabkan bursa saham global demam. Tak terkecuali bursa saham Asia. Kemarin, indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) Asia rontok 2%.
Maklum saja, kemarin, sebagian besar indeks bursa saham di Asia memang merosot cukup dalam. Sebagai catatan saja, kemarin pemerintah Beijing mengancam akan menetapkan tarif impor atas mobil dan daging ayam dari AS. Ancaman China ini merupakan balasan atas keputusan Presiden Barack Obama yang menerapkan tarif 35% terhadap ban asal China.
Pelaku pasar cemas, ketegangan hubungan China-AS itu merupakan cerminan retaknya hubungan kedua negara besar ini. Padahal, pasar berharap, pertemuan China dan Amerika di forum Group of Twenty (G-20) di Pittsburgh pada 24-25 September nanti akan menghasilkan solusi pemulihan ekonomi dunia.
Nyatanya, hubungan AS dan China malah memanas menjelang pertemuan tersebut. Belum jelas, bagaimana ujung perselisihan dagang antara AS dengan China ini. Sejumlah analis saham berharap, penurunan indeks saham bursa Asia tersebut hanya berlangsung sementara.
Artinya, investor hanya memanfaatkan isu untuk mengambil untung. "Bursa Asia sudah mengalami kenaikan yang cukup tajam, sehingga wajar jika terjadi koreksi," kata Edwin Sebayang, Kepala Riset Financorporindo Nusadana, Senin (14/9).
Edwin bilang, harga komoditas yang mulai turun juga menyebabkan pelemahan harga saham emiten berbasis komoditas. Padahal, sektor komoditas cukup besar menopang bursa saham Asia.
Masih bisa naik 15%
Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman menilai, pelemahan dolar AS terhadap mata uang Asia juga menjadi pemicu pelemahan bursa Asia. Pelemahan ini akan memukul kinerja emiten yang mengandalkan transaksi ekspor dalam dolar AS.
Norico berharap, China dan sejumlah negara lain segera mendiversifkasi cadangan devisa dalam dolar AS ke mata uang lain. Dengan demikian, "Bursa Asia akan pulih karena ketergantungan terhadap dolar AS berkurang," katanya.
Selain itu, pemulihan bursa juga akan tergantung hasil kinerja emiten pada kuartal III dan data-data terbaru tentang perekonomian AS.
Norico meramal, hingga akhir tahun, bursa Asia masih bisa menguat 12%-15%. Adapun Edwin menghitung, harga saham di Asia masih berpotensi naik 10%-15% hingga akhir tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News