Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia diproyeksi akan terus menjadi salah satu tujuan utama investasi asing, berkat inflasi yang terjaga dan imbal hasil yang menarik.
Menurut Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas, Amir Dalimunthe, obligasi Indonesia masih diminati oleh investor asing karena memiliki peringkat kredit stabil dan menawarkan imbal hasil yang kompetitif.
Amir menjelaskan, saat ini Indonesia mempertahankan peringkat kredit BBB dari tiga lembaga pemeringkat kredit internasional.
Baca Juga: Imbal Hasil Obligasi Indonesia Cukup Kompetitif, Saingannya India dan Filipina
Peringkat ini dianggap penting oleh investor asing karena memberikan kenyamanan dalam berinvestasi.
Selain itu, Indonesia juga menawarkan imbal hasil obligasi yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, seperti India dan Filipina.
"Obligasi Indonesia memiliki keunggulan dibanding India dan Filipina karena real yield differential, yaitu yield yang sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi, yang kemudian dibandingkan dengan real yield Amerika Serikat (AS)," kata Amir dalam acara Media Day BNI Sekuritas, Selasa (22/10).
Per 18 Oktober 2024, Local Currency Yield Curve (LCYC) untuk obligasi tenor 10 tahun di Filipina berada di 5,74%, Indonesia di 6,66%, dan India di 6,83%.
Dari sisi inflasi, Indonesia dan Filipina hampir setara dengan tingkat inflasi masing-masing 1,84% dan 1,90%. Sementara itu, inflasi India lebih bergejolak, berada di level 5,49%.
Baca Juga: Industri Manajer Investasi Dinilai Masih Menarik untuk Lakukan Akuisisi
Dengan demikian, Indonesia memiliki Local Currency Real Yield tertinggi sebesar 4,82%, dibandingkan dengan Filipina (3,84%) dan India (1,34%).
Jika dibandingkan dengan obligasi AS, real yield Indonesia juga masih lebih menarik. Saat ini, real yield AS berada di 1,68%, sedangkan Indonesia mencapai 4,81%, menghasilkan selisih real yield sebesar 3,14%.
"Pasar obligasi India, Indonesia, dan Filipina masih akan menarik potensi inflow asing," jelas Amir.
Namun, Amir memperkirakan capital gain dari investasi obligasi Indonesia baru akan terasa signifikan pada 2025.
Hal ini disebabkan oleh siklus awal pemangkasan suku bunga yang berdampak pada penurunan yield.
Baca Juga: Dorong Pemda Terbitkan Obligasi/Sukuk, Pemerintah Jalin Kerjasama dengan IFC
Dengan asumsi pemotongan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin (bps) di sisa tahun ini dan 100 bps pada 2025, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun diperkirakan akan turun menjadi 6,4% di akhir 2024, dibandingkan 6,5% pada akhir 2023. Pada akhir 2025, yield diproyeksikan turun lebih jauh ke 6,0%.
"Penurunan yield sebesar 0,4% pada 2025 akan menciptakan capital gain yang lebih besar dibandingkan tahun ini," tambah Amir.
BNI Sekuritas melihat bahwa pasar obligasi Indonesia akan terus menawarkan tingkat pengembalian yang menarik hingga 2025.
Dengan membaiknya kondisi pasar, kemungkinan bank sentral akan menurunkan suku bunga lebih lanjut, yang akan mendorong harga obligasi naik.
Baca Juga: Sepuluh Tahun Era Jokowi, Imbal Hasil Investasi Obligasi Tumbuh Signifikan
Amir menyarankan agar investor menerapkan strategi diversifikasi pada berbagai jatuh tempo dan peringkat kredit untuk menyeimbangkan risiko dan pengembalian.
Selain itu, pengelolaan portofolio yang aktif diperlukan untuk memanfaatkan titik masuk yang menarik di tengah ketidakpastian global seperti konflik geopolitik atau fluktuasi nilai tukar.
Ia juga mengingatkan pentingnya memantau kebijakan fiskal dan moneter, termasuk perubahan arah suku bunga acuan dan rencana penerbitan surat utang, untuk mengoptimalkan peluang investasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News