Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah diperkirakan masih akan tertekan untuk jangka pendek, meski Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI Rate.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan bahwa rupiah masih akan tertekan, baik sentimen dari dalam maupun luar.
Ini dengan asumsi tidak ada perubahan signifikan dalam perkembangan eksternal, seperti konflik Rusia-Ukraina dan kebijakan tarif Trump.
Meski begitu, Lukman memperkirakan rupiah akan mampu bertahan di kisaran Rp 16.000 - Rp 16.500 per dolar Amerika Serikat (AS), terutama didorong oleh aksi intervensi BI.
Baca Juga: Defisit Neraca Transaksi Berjalan Diprediksi Melebar Menjadi 1,18% dari PDB di 2025
Selain itu, walau dalam tekanan ia juga memperkirakan BI akan memangkas suku bunga satu kali pada kuartal ini dan sekali lagi pada kuartal berikutnya.
"Karena data-data ekonomi yang mulai mendukung, seperti inflasi tahunan sudah di bawah 1% dan pada Januari, secara bulanan terjadi deflasi yang cukup besar, serta ekspor dan impor yang juga kian melemah, mencerminkan daya beli yang rendah," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (20/2).
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana menyebutkan BI mempertahankan suku bunga sebagai pendekatan yang seimbang oleh BI. Menurutnya, hal tersebut mencerminkan kompromi antara tujuan pro-pertumbuhan dan pro-stabilitas.
Di sisi lain, kebijakan moneter yang lebih berorientasi ke dalam (inward-looking) dapat meningkatkan risiko jangka pendek.
Adapun risikonya meliputi arus modal keluar dan volatilitas rupiah akibat ketidakseimbangan global dan pelarian terhadap kualitas.
Baca Juga: Loyo, Rupiah Spot Melemah 0,08% ke Rp 16.338 Per Dolar AS pada Kamis (20/2)
"Untuk kuartal I 2025, saya perkirakan ditutup di Rp 16.220 - Rp 16.420 per dolar AS," kata Fikri.
Meski ada risiko, menurut Fikri langkah tersebut kemungkinan besar akan memberikan hasil jangka panjang yang positif.
Sebab, hal itu menawarkan peluang untuk menumbuhkan optimisme investasi, memperkuat daya beli konsumen, menurunkan biaya pendanaan investasi, dan menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik.
Lanjut Fikri, ketika BI menyikapi trade-off ini, keputusannya menggarisbawahi keseimbangan yang rumit antara menangani dinamika pasar yang terjadi saat ini dan mendorong lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan yang kuat dan inklusif.
Di tengah tekanan, revisi PP DHE juga menjadi angin segar. BI mengumumkan perluasan instrumen pengelolaan DHE SDA yang diperluas meliputi penempatan pada Term Deposit Valuta Asing (TD Valas DHE) dengan tenor sampai dengan 12 bulan, penempatan pada instrumen SVBI dan SUVBI dengan tenor sampai dengan 12 bulan, pemanfaatan melalui konversi TD Valas DHE menjadi FX Swap, FX Swap dengan underlying TD Valas DHE, SVBI, dan SUVBI, dan menggunakan instrumen tersebut sebagai agunan untuk kredit perbankan dalam mata uang rupiah.
Fikri menyebutkan bahwa langkah-langkah ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap stabilitas nilai tukar domestik, menjaga kecukupan likuiditas rupiah, dolar AS, dan mata uang lainnya di sistem perbankan dan keuangan.
"Selain itu juga diharapkan mengurangi kekhawatiran akan keterbatasan pendanaan bagi eksportir di tengah implementasi peraturan DHE SDA yang baru," terangnya.
Dengan demikian, Fikri memproyeksikan rupiah di Rp 16.259 per dolar AS pada akhir tahun 2025. Lukman juga tetap mempertahankan rentang rupiah di Rp 16.000 - Rp 16.500 per dolar AS di akhir tahun.
"Namun tanpa intervensi yang cukup, rupiah bisa menyentuh atau bahkan di atas Rp 17.000 per dolar AS," tutupnya.
Selanjutnya: Presiden Korsel yang Dimakzulkan, Yoon Suk Yeol, Jalani Sidang Perdana
Menarik Dibaca: Susu Bisa Menurunkan Asam Urat? Ketahui Manfaatnya Sekarang Juga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News