Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 7,25%. Pelonggaran kebijakan moneter ini tentu saja akan berdampak pada sejumlah instrumen investasi, termasuk reksadana.
Hal ini membuat manajer investasi (MI) mengubah strategi mengelola reksadana. Senior Fund Manager PT BNI Asset Management (BNI-AM) Hanif Mantiq optimistis, akibat penurunan BI rate, pasar obligasi dan saham akan bullish.
Di sisi lain, penurunan BI rate juga bakal menyeret turun suku bunga deposito. Wajar jika perusahaan manajemen investasi ini cenderung menahan diri untuk memarkirkan dana pada instrumen deposito.
"Deposito sudah pasti negatif. Perbankan menyesuaikan suku bunga deposito dengan penurunan suku bunga BI," kata Hanif.
Investment Director PT Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana juga optimistis pasar obligasi dalam jangka panjang akan melaju kencang, karena masih ada peluang penurunan suku bunga BI.
"Kemungkinan BI rate turun lagi masih terbuka, minimal 50 bps lagi," tutur Jemmy. Porsi SUN Dengan melihat prospek obligasi yang cerah, Jemmy bilang Sucorinvest bakal menggemukkan porsi obligasi dalam portofolio reksadana mereka dari semula 25% menjadi 50%.
Sementara porsi efek saham bakal mengecil dari 50% menjadi 35%. Selebihnya sebesar 15% berupa instrumen pasar uang. Untuk reksadana berbasis obligasi, perusahaan ini bakal fokus menempatkan dana pada surat utang negara (SUN) tenor menengah hingga panjang, yakni lebih dari 10 tahun.
Sebab, di kala pasar bullish, umumnya SUN bertenor menengah hingga panjang akan mendulang imbal hasil lebih tinggi ketimbang SUN bertenor pendek. "Kalau obligasi korporasi kurang likuid. Jadi efek penurunan suku bunga BI akan lebih terasa ke SUN," jelas Jemmy.
Ia memproyeksikan, reksadana pendapatan tetap bisa mencetak return sekitar 15%-20% pada tahun ini. Namun Jemmy menduga pasar saham masih akan tertekan di paruh pertama tahun Monyet Api ini.
Katalis negatifnya adalah perlambatan ekonomi China. Selanjutnya ia optimistis, pasar saham rebound di semester II-2016. Maklum, anggaran belanja infrastruktur diprediksi bakal mendongkrak Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Sedang Hanif mengungkapkan, BNI-AM mengincar SUN bertenor menengah hingga panjang untuk aset dasar produk reksadana berbasis efek surat utang. Terutama SUN seri acuan bertenor 10 tahun, 15 tahun serta 20 tahun, dengan durasi panjang. Perusahaan ini memperbesar porsi SUN dari 35% jadi 50%.
Sisanya berupa obligasi korporasi. Hanif mencontohkan, untuk SUN tenor 10 tahun, durasinya sekitar 7. Artinya, apabila BI rate menyusut 100 bps, pelaku pasar yang menggenggam seri ini akan memperoleh imbal hasil sekitar 7%.
Untuk aset dasar saham, sektor yang dipilih BNI-AM adalah sektor konsumer, bank, infrastruktur, telekomunikasi, dan kesehatan. Menurut Hanif, sektor konsumer dan perbankan akan mendulang untung apabila suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dipangkas dari level saat ini, yaitu 7,25%.
Hanif yakin IHSG akan mencapai 5.500–5.600 di akhir 2016. Hanif menganalisa, pada tahun 2016, return reksadana saham berpotensi mencapai 20%, reksadana berbasis SUN sekitar 15%, dan reksadana beraset dasar obligasi korporasi sekitar 12%.
Sementara Agus B. Yanuar, Direktur Utama Samuel Aset Manajemen, menjelaskan, perusahaannya menyasar obligasi pemerintah bertenor 5 tahun hingga 10 tahun. Samuel juga mengincar obligasi korporasi dengan peringkat minimal AA dan tenor tiga hingga lima tahun.
"Perkiraan tahun 2016, imbal hasil reksadana berbasis obligasi kisaran 8%-10%," tuturnya. Faktor penopangnya adalah rendahnya inflasi dalam negeri, yang dipatok sekitar 3%-5%. Sementara IHSG pada tahun ini, menurut Agus ,berpotensi membaik dengan target moderat di kisaran 5.520.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News