Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis (22/7), dan memutuskan untuk menahan suku bunga acuan, alias BI 7-day reverse repo rate Juli 2021 di level 3,50%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, ini sejalan dengan perlunya bank sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan sistem keuangan karena ketidakpastian di pasar keuangan global.
“Juga di tengah perkiraan inflasi yang rendah, serta upaya kami dalam mendukung pemulihan pertumbuhan ekonomi di tengah Covid-19,” ujar Perry, Kamis (22/7).
Senior economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana menilai saat ini ada kepercayaan diri dari BI. Selain itu juga ia melihat ada koordinasi yang baik antara mereka dengan kebijakan fiskal dari Kementerian Keuangan.
“Di saat yang sama juga ada kepercayaan diri antara neraca dagang surplus dari ekspor yang nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi di sisi lain juga ada yang sedikit tersirat dari Pak Perry, yang menyatakan bahwa rupiah nanti akan ada cerita lain,” kata Fikri kepada Kontan.co.id, Kamis (22/7).
Baca Juga: BI menahan suku bunga acuan, rupiah berpotensi menguat dalam jangka pendek
Presiden Komisoner HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, yang dilakukan BI saat ini mendukung bagi kesinambungan pemulihan ekonomi dari krisis pandemi, dengan tetap menjaga stabilitas di tingkat nilai tukar dan sistem keuangan, di tengah prospek inflasi yang rendah.
“Pemulihan ekonomi dari pandemi berlanjut selama triwulan ke-2, terutama didorong oleh ekspor, belanja fiskal, dan investasi non-bangunan,” kata Sutopo.
Di sisa akhir tahun 2021, Fikri memperkirakan BI membiarkan depresiasi rupiah, atau intervensi akan dikurangi. Fikri juga melihat bahwa BI mengejar pendapatan dari pajak dan ekspor yang naik ketika adanya depresiasi terhadap rupiah sampai akhir tahun 2021.
“Mungkin karena pertimbangan ekspor yang lebih baik, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong pendapatan dari APBN. Mungkin nantinya rupiah dibiarkan terdepresiasi dalam level setidaknya akan stabil,” kata Fikri.
Hal ini menurutnya dilakukan agar BI mempunyai senjata yang lebih bagus untuk menahan rupiah agar tidak terjerembab lebih jauh, walaupun apabila pelemahan sudah dekat di angka Rp 15.000 per dolar AS, menurutnya akan membuat BI intervensi kembali.
Sutopo juga melihat efek dari kebijakan BI akan membuat inflasi terjaga dengan baik, rupiah yang stabil di angka Rp 14.500 per dolar AS, bunga kredit perbankan yang terus turun perlahan, dan masuknya investor asing.
Efeknya, rupiah akan stabil dan cenderung menguat terbatas. Di samping masalah Covid-19 yang tidak kunjung reda, dan sedikit membuat ketidakpastian di pasar.
Secara fundamental, Fikri menilai rupiah berada di level Rp 12.000 per dolar AS, tetapi apabila didorong ke level Rp 12.000 per dolar AS menurutnya tidak akan baik bagi sisi ekspor Indonesia, atau pun bagi pendapatan negara.
Walaupun secara riil Fikri melihat secara fundamental, rupiah saat ini berada di angka Rp 12.000 per dolar AS. Mungkin karena pertimbangannya ekspor yang lebih baik, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi mendorong penerimaan APBN.
Baca Juga: BI optimistis pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi dari titik tengah 3,9%
Selain itu, Fikri melihat sampai akhir tahun neraca dagang dan devisa dinilai akan mempengaruhi rupiah. Kalau dari faktor eksternal, Fikri juga melihat bahwa adanya isu tapering dari The Fed akan mempengaruhi pergerakan rupiah.
“Ini tentunya akan mendorong adanya capital outflow, jadi investor global akan berlomba-lomba lari ke US Treasury ataupun German Bond, karena adanya risiko Covid-19 di seluruh dunia,” kata Fikri.
Walaupun keduanya merupakan faktor utama, tetapi jauh di atas semuanya, menurut Fikri faktor tertingginya berada di Covid-19, apabila mereda relatif akan lebih baik.
Di akhir tahun, rupiah dinilai Fikri akan berada di level Rp 14.600 per dolar AS.
Sementara itu, Sutopo menilai masih ada kemungkinan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000 per dolar AS di akhir tahun.
Tetapi jika program vaksinasi yang cepat dan ekonomi yang pulih pasca pandemi, akan mengerek harga ke kisaran Rp 14.200 per dolar AS.
Selanjutnya: Bos BI beberkan 7 kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News