Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aturan baru dari Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) ketika memasuki usia 56 tahun terus menuai polemik. Bahkan, banyak orang yang mengusulkan masyarakat untuk mengelola dana JHT secara pribadi karena merasa keberatan dengan aturan tersebut.
Sebenarnya, menyiapkan dana JHT melalui sebuah instrumen investasi dan dikelola secara pribadi memang sangat dimungkinkan. Reksadana merupakan salah satu instrumen investasi yang bisa dijadikan pilihan.
Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto menyebut reksadana memang sudah umum digunakan sebagai salah satu instrumen investasi untuk dana JHT. Apalagi, berinvestasi untuk JHT merupakan investasi jangka panjang, sehingga penggunaan reksadana bisa jadi pilihan yang optimal.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Rp 6 Triliun untuk Modal Awal Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan
“Kalau bicara JHT, asumsinya kita menyiapkan dana sejak usia 20 tahun-30 tahun dan punya time horizon yang sangat panjang. Penggunaan reksadana yang berisiko tinggi dan menawarkan imbal hasil tinggi, seperti reksadana saham sangat mungkin dijadikan pilihan,” jelas Eko kepada Kontan.co.id, Senin (21/2).
Bahkan, Eko menyebut dengan time horizon yang sangat panjang, investor bisa menempatkan seluruh dana investasi untuk JHT pada reksadana saham. Tak perlu melakukan diversifikasi ke produk reksadana lain, selama memang tujuannya adalah untuk dana pensiun.
Senada, Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi mengatakan, penggunaan reksadana untuk menyimpan dana pensiun sudah banyak dilakukan. Dia juga bilang bahwa reksadana saham umumnya dijadikan pilihan sebagai portofolio investasi untuk dana JHT.
Baca Juga: JHT Baru Bisa Dicairkan Full di Usia 56 Tahun, Bagaimana Efeknya Bagi Pekerja?
Kendati begitu, Reza menyarankan investor untuk tetap melakukan diversifikasi ke reksadana pendapatan tetap/campuran dan pasar uang, namun porsi reksadana saham bisa dibuat lebih besar. Besarannya sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko masing-masing.
“Semakin besar porsi reksadana saham maka akan semakin optimal juga imbal hasilnya. Apalagi, dengan cara investasi rutin tiap bulan alias dollar cost averaging (DCA) bisa membuat hasil investasi semakin optimal,” imbuh Reza.
Namun, mengingat reksadana adalah produk yang juga dikelola oleh orang lain, yakni manajer investasi, Eko pun mengingatkan investor untuk sangat selektif dalam memilih produk reksadana. Salah satu yang penting, menurutnya adalah melakukan analisa kinerja historis produk tersebut.
Ia merekomendasikan, investor tidak hanya melihat kinerjanya dalam setahun terakhir, namun hingga 5 tahun terakhir. Setelah itu, cari imbal hasil rata-rata produk tersebut setiap tahunnya, apakah imbal hasilnya di atas angka inflasi atau tidak. Jika angkanya bisa konsisten tinggi di atas inflasi, bisa jadi pertimbangan positif.
Baca Juga: Dana Kelolaan Menuju Rp 1.000 Triliun, BPJamsostek Usul Bisa Investasi ke Luar Negeri