Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - Nilai belanja iklan dari Januari hingga Juli 2017 meningkat jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Mengutip data Nielsen, belanja iklan telah tumbuh 6% menjadi Rp 82,1 triliun karena adanya kenaikan tarif.
Iklan melalui media televisi mencapai Rp 65,1 triliun, memberikan sumbangan terbesar terhadap total nilai belanja iklan. Kenaikan belanja iklan pun berpotensi mengerek kinerja sektor media, khususnya media televisi.
Bertoni Rio, Analis Senior Anugerah Sekuritas Indonesia, mengatakan, dari beberapa emiten media, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) terlihat paling menarik karena likuditas saham yang tinggi. Jumlah saham beredar SCMA mencapai 39,17%.
Pertumbuhan aset SCMA juga lumayan tinggi sebesar 20,1% dalam empat tahun terakhir. "Secara fundamental, terlihat rata-rata pertumbuhan pendapatan SCMA sebesar 7% dan pertumbuhan laba bersih 5,6%," ujar Rio kepada KONTAN, Jumat (15/9).
Prospek SCMA juga akan terdorong dari diperolehnya hak siar untuk menayangkan Liga Champions dan Liga Eropa. Dus, SCMA berpeluang mendapatkan keuntungan tambahan dari pemasangan iklan dan konten selama acara tersebut.
Meski belanja iklan tumbuh, Christine Natasya, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, memproyeksi pertumbuhan kinerja sektor media cenderung landai. "Industri media masih biasa saja, karena consumer goods turun," ujar dia.
Tapi, emiten media seperti SCMA tetap menarik dicermati. Ini karena iklan di televisi milik SCMA masih tinggi, terutama dari perusahaan properti dan perusahaan e-commerce. Selain itu, good corporate governance (GCG) SCMA cukup baik, sehingga memberi kepastian kepada publik.
Kinerja SCMA juga meningkat dengan margin laba yang tebal. Pendapatan SCMA meningkat dari Rp 2,34 triliun di semester I-2016 jadi Rp 2,41 triliun di semester I-2017. Sementara itu, laba bersihnya tercatat sebesar Rp 838,72 miliar dengan laba bersih per saham Rp 57,38.
Christine memprediksi, pendapatan dan laba bersih SCMA di akhir 2017 masih bisa tumbuh sekitar 5%. Meski pertumbuhannya masih satu digit, Christine menilai industri televisi belum akan terlibas oleh pertumbuhan media online yang kian pesat.
Menurut Christine, penetrasi internet di Indonesia belum merata di seluruh wilayah Tanah Air. Oleh karena itu, jaringan televisi free to air (FTA) tetap menjadi pilihan utama bagi para pengiklan.
Valuasi saham
Meski demikian, kinerja saham emiten sektor media cenderung melemah. Sepanjang tahun ini, saham SCMA telah terkoreksi 17,5%. Sementara itu, saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) telah terkoreksi 19,7%. Lalu, saham PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) sudah turun 11,4% sepanjang tahun.
Rio mengatakan, price to earning ratio (PER) SCMA telah berada di level 19,69 kali, lebih mahal dibandingkan PER MNCN sebesar 12,34 kali, dan PER VIVA sebesar 9,84 kali. Tapi, karena prospek kinerjanya bagus, Rio merekomendasikan akumulasi beli untuk saham SCMA. Ia mematok target harga SCMA sebesar Rp 3.000 per saham. Senada, Christine juga masih merekomendasikan beli saham SCMA dengan target harga Rp 2.520 per saham.
Sementara itu, untuk saham MNCN, Christine merekomendasikan hold dengan target harga Rp 1.640. Harga saham ini mencerminkan PER tahun 2017 sebesar 15,6 kali. Rekomendasi ini dilatarbelakangi kinerja MNCN kuartal II-2017 yang masih lebih rendah dari perkiraan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News