kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Banyaknya Emiten IPO Tidak Diikuti Kualitas Perusahaannya, Ini Kata Analis


Kamis, 09 Februari 2023 / 06:05 WIB
Banyaknya Emiten IPO Tidak Diikuti Kualitas Perusahaannya, Ini Kata Analis


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin ramai kedatangan perusahaan baru yang mencatatkan sahamnya (initial public offering/IPO). Misalnya, awal tahun ini saja BEI sudah kedatangan 17 emiten baru.

Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat menilai banyaknya perusahaan yang IPO tidak diikuti dengan kualitas perusahaan itu sendiri. Sebab, tak sedikit dari emiten yang IPO mencatatkan harga di bawah harga saat IPO.

Contoh, PT Oscar Mitra Sukses Sejahtera Tbk (OLIV) yang anjlok 74% ke Rp 26. Menyusul PT Nanotech Indonesia Global Tbk (NANO) yang tersungkur 73% dan PT Klinko Karya Imaji Tbk (KLIN) yang turun 69% ke Rp 31. Padahal ketiganya, memasang harga IPO di Rp 100 per saham.

Baca Juga: Jumlah Perusahaan IPO Makin Banyak, Bagaimana Kualitasnya?

Yang terbaru, Teguh juga bilang ada juga yang memutuskan IPO dengan laba bersih dalam setahun tidak mencapai Rp 10 miliar. Meski begitu, perusahaan tersebut IPO dengan kapitalisasi pasar (market cap) sebesar Rp 500 miliar.

"Jadi perusahaan yang pendapatan dan laba bersih sangat kecil, tetapi saat IPO mendadak jadi perusahaan besar dengan market cap yang mencapai ratusan miliar. Itu sudah pasti calon gocap," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (8/2).

Teguh menyayangkan kualitas emiten yang IPO belakangan ini. Sebab, sebelumnya perusahaan terbuka identik dengan perusahaan besar, yang memiliki usaha skala nasional, historisnya jelas, dan bukan perusahaan baru berdiri.

Sehingga ia menilai IPO saat ini seperti tidak ada batasan dan IPO dilihat sebagai ajang mencari dana tanpa mempedulikan nasib para investor publik.

Ia juga mencontohkan salah satu emiten yang baru IPO, yakni PT Bersama Zatta Jaya Tbk (ZATA). Menurutnya, ZATA memang perusahaannya yang cukup baik lantaran memiliki brand kerudung Zata. Namun, saat harganya di level Rp 50 saja, market cap perusahaan milik Sultan Subang itu mencapai Rp 500 miliar, padahal ekuitasnya hanya Rp 200 miliar sehingga tergolong sebagai perusahaan kecil.

"Kalau dulu itu perusahaan terbuka identik dengan perusahaan besar, tapi sekarang perusahaan kecil mendadak jadi besar dan mainin sahamnya yang sebenarnya dari pihak owner walau dijual di harga Rp 50 sekalipun tetap untung besar karena mungkin modalnya hanya Rp 10 atau Rp 20. Jadi ujung-ujungnya hanya merugikan investor publik," paparnya.

Dengan fenomena seperti ini, Teguh bilang, sebaiknya BEI mengembalikan aturan IPO seperti sebelumnya. Salah satunya, tidak mengizinkan perusahaan yang rugi untuk IPO. Sebabnya, aturan tersebut diubah untuk memfasilitasi IPO PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).

Selain itu, peraturan bahwa perusahaan harus berdiri dan memiliki kinerja positif minimal 3 tahun berturut sebelum IPO. Namun, kemudian diubah sehingga meloloskan perusahaan-perusahaan kecil.

Satu sisi, Teguh membenarkan bahwa konsekuensinya jumlah perusahaan IPO akan berkurang. Namun, menurutnya saat ini pun jumlah emiten di BEI sudah overload, bahkan terlalu banyak saham IPO dan ujung-ujungnya menjadi saham gocap.

Baca Juga: Catatan dan Rekomendasi Analis untuk Saham Baru di BEI: VAST, HALO, PACK, dan CHIP

"Jadi saya pikir itu lama-lama merusak citra pasar modal sendiri," sambungnya.

Saat ini BEI sendiri memiliki lebih dari 800 emiten. Teguh bilang, dari jumlah itu 200 emiten harga sahamnya berada di bawah Rp 100 dan beberapa sudah di level Rp 50. 

"Jadi, seperempat investor publik ini kena di saham tidak jelas dan mengalami rugi yang tidak kecil," bebernya.

Equity Research Analyst Phintraco Sekuritas Alrich Paskalis Tambolang menambahkan, ada baiknya sebelum listing investor sudah dapat melihat prospektus perusahaan yang dirilis oleh bursa. Sehingga investor dapat mempertimbangkan keputusan dalam bertransaksi di saham yang akan IPO tersebut.

Terkait kerugian yang bisa dialami para Investor di saham IPO, ia menilai sebenarnya banyak faktor yang dapat menjadi pemicunya. 

"Sebab, volatilitas harga tergantung dari pandangan investor masing-masing apakah harga saat IPO dinilai overvalue (sehingga ada aksi jual) atau masih undervalue (memicu aksi beli)," jelasnya.

Selain itu, juga perlu memperhatikan kinerja perusahaan, sentimen pasar, kegiatan ekspansif atau inovasi bisnis dari emiten terkait juga dapat mempengaruhi pergerakan harga tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×