Reporter: Dupla Kartini | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Data manufaktur China dan Amerika Serikat yang positif menjadi bahan bakar pendongkrak harga minyak mentah. Kenaikan minyak juga didukung ekspektasi kalau the Fed bakal mengumumkan stimulus pekan ini.
Pengamat pasar komoditas sekaligus Kepala Divisi Pengembangan Bisnis PT Monex Investindo Futures, Apelles RT Kawengian menambahkan, kenaikan minyak juga terdongkrak pernyataan Menteri Perminyakan Arab Saudi menyatakan harapan dari konsumen dan produsen agar minyak bisa stabil di US$ 70-US$ 90 per barel. Bergeser dari target ideal OPEC sebelumnya di US$ 60-US$ 80. "Ini mengindikasikan adanya peluang minyak bergerak lebih tinggi, hingga mungkin ke level US$ 90," lanjut Apelles.
Apelles memprediksi, sampai pengumuman stimulus, minyak masih cenderung positif di kisaran US$ 82,87-US$ 84,80 per barel. "Adapun, jika keputusan stimulus nantinya menekan dollar, minyak bisa ke US$ 85," imbuhnya.
Sementara, Analis Askap Futures Ibrahim menyebut faktor stimulus dan sentimen data manufaktur masih akan menopang laju harga minyak. Hingga kepastian stimulus diumumkan, dia menduga minyak masih berpotensi naik ke kisaran US$ 84-US$ 85 sebarel.
Menurut Ibrahim, jika stimulus cukup agresif, sesuai konsensus pasar untuk tiga bulan pertama sekitar US$ 500 miliar, minyak akan lanjut menguat ke US$ 85,5 per barel. Kalaupun besaran stimulus tidak sesuai konsensus pasar, minyak tidak akan banyak terkoreksi, kemungkinan kembali ke level US$ 83. Alasannya, saat ekonomi global mulai membaik dengan adanya stimulus, harga minyak akan stabil di US$ 80-US$ 85.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News