kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Bantuan Menneg BUMN ke BUMI Tuai Kritik


Selasa, 18 November 2008 / 07:52 WIB
Bantuan Menneg BUMN ke BUMI Tuai Kritik


Reporter: Aprillia Ika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Rencana Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN) Sofyan Djalil untuk menyelamatkan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang sempat terjun bebas menuai sejumlah kritik.

Beberapa pihak menilai, rencana Sofyan tersebut merupakan upaya untuk menyelamatkan kantong pribadi Sofyan belaka. Pasalnya, Sofyan merupakan salah satu pemegang saham BUMI senilai kurang lebih Rp 2 miliar. Salah satunya adalah Indonesian Corruption Watch (ICW).

Sofyan sendiri sudah membantah berita tersebut. Menurutnya, posisinya sebagai Menneg tidak sekarang tidak ada hubungannya dengan posisinya sebagai pemegang saham di BUMI.

Kendati demikian, ICW menilai, rencana intervensi pemerintah atas saham BUMI tersebut telah melanggar aturan main.

"Dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal disebutkan bahwa pihak-pihak yang terkait dengan regulasi pasar modal tidak boleh bermain di pasar modal," ujar Danang Widjoko, Koordinator Umum ICW.

Oleh karena itu, ICW bersama-sama dengan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) serta Wahid Institute mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, (17/11).

Keempat organisasi ini datang untuk mendesak KPK segera mengusut kasus tersebut untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan dalam penyelesaian masalah saham BUMI. 
ICW menduga, bakal terjadi kerugian negara jika langkah penyelamatan BUMI diambil oleh Menneg BUMN.

Apalagi dalam beberapa pekan terakhir, saham BUMI terjun bebas. Bahkan kemarin, saham BUMI diperdagangkan di harga Rp 1.000 an per lembar. Yang menjadi masalah, Menneg  BUMN mendorong sejumlah BUMN penting di sektor energi untuk membeli saham BUMI.

"Kebijakan memasukkan dana dari BUMN sebesar US$ 300 sampai US$ 400 juta ini akan memberikan keuntungan pada grup Bakrie sebagai pemegang saham terbesar di BUMI," lanjut Danang. Karena itu, lanjut ICW, pemerintah seolah-olah memberikan subsidi kepada grup Bakrie.

"Potensi kerugian negara terjadi ketika seharusnya dividen BUMN masuk ke APBN untuk kepentingan rakyat, tetapi malah masuk ke BUMI dengan membeli saham Bakrie," terang Danang.

Nada miring juga datang dari Presiden OPSI Yanuar Rizky. Rizky menegaskan, rencana Menneg BUMN kali ini benar-benar memerlukan klarifikasi ulang dari KPK. Pasalnya Rizky merasa aneh jika BUMN akan ikut masuk dalam konsorsium Pacific Northstar untuk menyelamatkan 35 persen saham BUMI. Termasuk juga PT Bukit Asam (PTBA). 

"Posisi Menneg BUMN itu tak ubahnya sebagai manager investasi, dengan rakyat sebagai nasabahnya, itu yang belum disadari," ujar Rizky.

Rizky juga mengamati bahwa saat ini kondisi ekonomi Indonesia masih belum stabil. Sehingga belum tepat jika Pemerintah mengulurkan bantuan bagi BUMI.

"Lagipula, BUMI masih memiliki tunggakan royalti batubara ke negara sebesar US$ 201,6 juta. Juga ada tunggakan utang pajak sebesar US$ 400 juta. Padahal seharusnya royalti dan deviden harus masuk ke APBN," kata Rizky.

Selain mendesak KPK, ICW juga mendesak Menneg BUMN Sofyan Djalil dan direksi PTBA untuk memberikan penjelasan lebih terinci. Tidak hanya dari sisi bisnis batubara semata, melainkan dari sisi keuangan negara pula.
 
ICW dan ketiga organisasi lainnya juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhiyono segera menegaskan posisi kabinet dalam kepemilikan saham. Karena area ini masih abu-abu.

"Seharusnya dibuat Keppres mengenai sah tidaknya menteri negara memegang saham, karena nanti imbasnya ada konflik kepentingan," pungkas Rizky.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×