Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konsolidasi industri perbankan Tanah Air makin gencar. Investor dari luar dan dalam negeri berlomba mengakuisisi bank untuk memperluas ekspansi bisnis sektor keuangan.
Salah satu bank domestik yang paling serius mengakuisisi bank kecil antara lain PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Bank dengan kode saham BBCA ini sudah mengakuisisi dua bank yakni PT Bank Royal Indonesia dan PT Rabobank Internatonal Indonesia. Terbaru, Rabobank yang berganti nama menjadi PT Bank Interim telah resmi digabung atau merger dengan PT Bank BCA Syariah.
Asal tahu saja, proses akuisisi Bank Interim oleh BCA telah dimulai sejak akhir tahun lalu. Mulanya BCA mengucurkan dana Rp 397 miliar untuk mengempit 100% kepemilikan Bank Interim.
Namun nilai tersebut meningkat karena ada premium US$ 20,5 juta yang mesti dibayar BCA. Sehingga nilai akuisisinya menjadi sekitar Rp 500 miliar.
Baca Juga: Indeks penjualan riil masih kontraksi, ini rekomendasi saham emiten barang konsumsi
Dengan penggabungan tersebut, modal BCA Syariah semakin tebal. Hal ini tecermin dari modal ditempatkan dan disetor BCA Syariah per Juli 2020 akan meningkat dari Rp 1,99 triliun menjadi Rp 2,25 triliun pasca-penggabungan.
Lalu, untuk Bank Royal yang berganti nama menjadi PT Bank Digital BCA, menurut Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja akan difokuskan ke arah digital sesuai namanya. Ini merupakan langkah BCA untuk lebih serius menggarap segmen bisnis milenial melalui layanan perbankan digital yang mengusung konsep branchless. "Betul (Bank Digital BCA) akan fully digital. Fokus utama segmen milenial," ujar Jahja, Selasa (12/1).
BCA bukan satu-satunya yang ekspansif memboyong bank. Tahun lalu pun, konglomerat Indonesia ramai melalui aksi korporasi. Misalnya, CT Corp melalui PT Mega Corpora yang mengatakan bakal mengambilalih PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI) lewat pembelian 3,08 miliar saham atau sekitar 73,71% modal disetor.
CT Corp juga berencana membeli sebagian saham lagi di PT Bank Pembangunan Daerah Bengkulu (BPD Bengkulu). Akhir tahun lalu, CT Corp telah memberikan setoran modal tahap pertama sebesar Rp 100 miliar, sebagai upaya pemenuhan modal inti BPD Bengkulu.
Baca Juga: Sektor perbankan kebanjiran investor asing
Sementara itu, Grup Salim yang dulu pernah merajai industri perbankan juga mulai menunjukkan niatnya untuk melebarkan sayap bisnis. Hal ini bisa dilihat dari langkah terbaru Grup Salim, lewat PT Indolife Pensiontama membeli 422,8 juta saham PT Bank Mega Tbk (MEGA), bank milik pengusaha Chairul Tanjung.
Sejatinya, kembalinya Grup Salim ke industri perbankan sudah ditandai dengan keseriusannya lewat pengambilan saham di PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA). Saat ini, tercatat Grup Salim memegang kepemilikan sebesar 22,47% di BINA.
Nah, Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu pun pernah mengungkap kalau saat ini pihaknya tengah melakukan persiapan ekspansi. Dalam waktu dekat, tentunya Bank Ina bakal berkolaborasi dengan lini bisnis dari sang pemegang saham terutama dalam bisnis ritel seperti Indomaret dan Indogrosir. Pun, Daniel mengungkap pihaknya sedang mengembangkan layanan bisnis perbankan digital. sebagai langkah menjawab persaingan yang diprediksi akan semakin ketat.
Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib angkat bicara. Menurut dia, dengan masuknya Grup Salim sebagai pemegang saham minoritas Bank Mega belum akan mengubah fokus bisnis Bank Mega.
Baca Juga: Deutsche Bank kapok berbisnis lagi dengan Donald Trump dan perusahaannya
Tapi di sisi lain, Kostaman berharap dengan masuknya PT Indolife Pensiontama bisa memberikan nilai tambah (added value) bagi bisnis bank yang dinakhodainya ke depan. "Fokus bisnis Bank Mega tidak mengalami perubahan," ujar dia belum lama ini.
Investor asing pun juga berlomba mencicipi kue bisnis bank di Indonesia. Salah satunya investor asal negeri Gajah Putih alias Thailand.
Hal ini ditandai dengan masuknya Bangkok Bank sebagai pemegang saham pengendali PT Bank Permata Tbk (BNLI). Salah satu bank terbesar di Thailand ini pun telah secara efektif berintegrasi dengan Bank Permata per 21 Desember 2021 melalui Bangkok Bank Kantor Cabang Indonesia (BBI).
Sekarang, Bank Permata adalah salah satu dari 10 institusi perbankan terbaik di Indonesia. Setelah mendapat konfirmasi dari OJK, Bank Permata memenuhi syarat sebagai bank BUKU IV, kategori bank dengan total modal lebih dari Rp 30 triliun.
Direktur Utama Bank Permata Ridha Wirakusumah pernah menegaskan, kalau bisnis Bank Permata akan tetap fokus ke perbankan digital, ritel, syariah, UMKM dan korporasi. Meski sudah mendapatkan investor kelas kakap yang baru.
Baca Juga: Kabar baik BI perpanjang relaksasi kartu kredit
Bangkok Bank bukan menjadi satu-satunya investor asal Thailand yang masuk ke Indonesia. Ada pula Kasikorn Bank PCL melalui anak usaha Kasikorn Vision Co Ltd (KVision) yang membeli saham PT Bank Maspion Tbk (BMAS).
April 2020 lalu KVision meneken perjanjian jual beli saham dengan PT Alim Investindo, PT Maspion, PT Husin Investama, PT Maspion Investindo serta lima pemegang saham individual untuk membeli 30,01% saham Bank Maspion.
Presiden Direktur Maspion Group Alim Markus dalam artikel yang dimuat Kontan.co.id menjelaskan kalau nantinya tambahan modal yang dicapai lewat hasil investasi itu akan dipakai untuk pengembangan teknologi informasi (TI).
Lalu, mengapa pasar perbankan Indonesia menarik di mata investor? Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe mengatakan bisnis di Indonesia sangat menguntungkan.
Apalagi, perbankan di Tanah Air punya net interest margin (NIM) paling tinggi di Asia bahkan dunia. Indonesia juga termasuk potensi pasar yang masih sangat luas untuk digarap. "NIM perbankan kita sangat tinggi. Termasuk aset bank yang besar. Tercermin dari capital adequacy ratio (CAR) yang menjadi paling tinggi di Asia," kata Kiswoyo, Selasa (12/1).
Baca Juga: Penipuan Grab Toko: Korban mencapai 980 orang, kerugian Rp 17 miliar
Asal tahu saja, walau diterpa pandemi Covid-19, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Oktober 2020 NIM bank umum ada di level 4,41%. Sementara CAR ada di level 23,7%. Dengan posisi NIM yang tetap rendah di level 3,15% secara gross. "Investor asing banyak di negara asalnya, industri perbankannya sulit untuk ekspansi karena keterbatasan pasar. Sedangkan potensi bisnis di Indonesia masih menggiurkan," kata dia.
Hal ini menurut Kiswoyo membuat peta persaingan bisnis bank nantinya akan semakin sengit. Terutama di bidang pengembangan digital yang tengah menjadi sorotan seluruh industri, khususnya keuangan dan perbankan.
Pun di mata investor khususnya konglomerat, bisnis perbankan tentu sangat diperlukan. Selain untuk menjaga stabilitas bisnis perusahaan secara grup, bisnis keuangan bisa membuka pintu ekspansi.
Apalagi saat ini industri keuangan mulai dipadati dengan pengembangan perusahaan teknologi finansial. "Investor tentu tidak ingin ketinggalan dengan beragam perkembangan ini," pungkas Kiswoyo.
Baca Juga: Bunga deposito tengah pekan: Bunga deposito Bukopin dan Bank Mayora tertinggi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News